TEMPO.CO , Jakarta - Pernahkah Anda mendengar nama Pulau Morotai? Mungkin sayup-sayup pernah mendengarnya. Bila belum, silakan buka peta Indonesia, Anda akan menemukan pulau kecil terpencil di Provinsi Maluku Utara.
Meski kecil, hanya seluas 1.800 kilometer persegi, tapi seperti cabe rawit, setidaknya bagi Jepang, karena mereka dilumpuhkan pasukan Sekutu dari pulau mungil ini. Pulau Morotai memiliki peran penting dalam sejarah Perang Dunia II. Di sana terdapat tujuh landasan pesawat, Pitu Street, sebagai saksi sejarah yang digunakan Amerika Serikat untuk pendaratan pesawat tempur.
Sejarah itu bermula pada September 1944, ketika Jenderal Douglas MacArthur membawa ratusan pesawat Sekutu ke Morotai. MacArthur memilih pulau itu karena posisinya sangat dekat dengan Filipina dan berada di sisi Samudera Pasifik. Dalam waktu tiga bulan Morotai menjadi pulau militer.
Sebagai pusat konsolidasi pasukan Divisi VII Angkatan Perang Amerika Serikat yang tengah menaklukkan Jepang, MacArthur memboyong 3.000 pesawat tempur sekutu, terdiri dari pesawat angkut, pengebom, dan 63 batalion tempur ke Morotai. Hasilnya, Amerika dan Sekutu berhasil melumpuhkan Jepang melalui Filipina.
Peninggalan Perang Dunia II tidak hanya landasan pacu. Di Pulau Zum Zum, dekat dengan Morotai, terdapat bungker tentara Amerika Serikat. Dulu bungker ini menjadi tempat persembunyian senjata dan tentara Amerika. Sedangkan di antara hutan mangrove terdapat gua tempat tentara Jepang bertahan.
Kalau sempat menyelam di sekitar Pulau Zum Zum, Anda bisa melihat bangkai kapal selam milik tentara Jepang. Tapi jika tak bisa menyelam, Anda bisa datang ke Desa Mata Air yang letaknya tak jauh dari Pitu Street. Di mata air itu biasanya MacArthur mandi untuk membersihkan dirinya.
Begitulah sejarah Perang Dunia II dilihat dari Pulau Morotai. Pulau kecil yang penuh cerita perang. Tapi, sayang, kini kondisi Pulau Morotai berbeda 180 derajat dari saat itu. Bahkan Pitu Street yang awalnya memiliki tujuh landasan saat ini hanya tersisa dua lajur. Sisanya telah dipenuhi semak belukar hingga tak bisa lagi dilandasi. Begitu juga dengan bungker Amerika dan tempat persembunyian tentara Jepang, tertutup ilalang.
Kendati kondisinya demikian, Nico dan Chaterine, pasangan muda asal Italia, sangat menyukainya. Ketika Tempo bertemu dengan wisatawan Eropa itu ia tampak asyik menyusuri kegelapan malam Kota Morotai. Nico memegang senter penerang jalan sembari menggapit kekasihnya, Chaterine, menuju rumah makan.
Saat itu, jarum jam tangan Tempo menunjuk pukul 20.00 WIT. Kondisinya sunyi, kecuali sesekali diramaikan hentakan suara mesin kendaraan roda dua yang melintas dan bentor alias becak motor yang digunakan warga untuk mengantarkan mereka pergi.
“Memang gelap, tapi kami suka karena sepi,” kata Nico kepada Tempo sambil mengarahkan sorot senternya ke jalanan. Nico menambahkan pulau ini punya sejarah bagus, sebagai pusat pengaturan strategi Perang Dunia II oleh Jenderal MacArthur.
Kalau Anda ingin berwisata sambil belajar sejarah, datang saja ke Pulau Morotai. Untuk datang ke sana, Anda bisa menumpang pesawat dengan rute Ternate. Selanjutnya lanjutkan perjalanan dengan kapal menuju Morotai. Maka sampailah Anda di pulau sejarah perang.
CORNILA DESYANA