TEMPO.CO , Bandung : Tempat ini membuat jam makan malam orang berubah. Mulai buka sejak sore, warung tenda di pinggir Jalan Sultan Hasanudin, Bandung, itu langsung diserbu. Dalam sejam, antrean panjang pesanan sudah berderet.
Di dalam tenda warung Bebek Ali, semua kursi penuh terisi oleh sekitar 40 orang. Gelas minuman, piring nasi, aneka lauk pauk, serta sambal, juga menghabiskan lahan tiga meja panjangnya. Para pemesan yang datang menjelang Ahad petang, 7 Januari 2012, itu pun harus rela berdiri antre di luar tenda.
Dua orang pemasak bolak-balik memasukkan dan mengangkat pesanan dari dua wajan besar berisi minyak goreng. Teriakan nomor pesanan selalu beradu dengan suara gemuruh kompor dan nyanyian sekelompok pengamen di ujung tenda.
Untuk menulis pesanan ke meja dapur, pembeli harus berjalan merayap di atas batu trotoar, dan kadang harus bergantian dengan pelayan.
Toh begitu, pengunjung nikmat saja melahap ayam, ikan lele, bebek, tahu juga tempe, yang semuanya digoreng. Pelengkapnya sambal merah, lalap daun kemangi, irisan kol, dan timun. Pemilik warung, Ali Reynaldi, 36 tahun, juga santai dan tetap ramah melayani pembayaran di meja kasir yang berada di tengah warung.
Warung Bebek Ali kini tersohor karena olahan bebeknya. Dagingnya terasa empuk dan sedikit garing di luar, seperti daging ayam. Tapi tulang-tulang besarnya masih cukup keras untuk ikut dikunyah. “Dagingnya gurih, enggak liat, juga enggak amis. Memenuhi syaratlah sebagai bebek goreng yang enak,” kata Syarifah, salah satu pelanggan warung yang berada dekat RS Santo Borromeus itu.
Selain itu, harganya terhitung murah. Sepotong bebek goreng sebesar kepalan tangan orang dewasa itu seharga Rp 13 ribu. Karena itu, ibu dua orang anak itu suka mampir makan di sana walau harus agak lama menunggu pesanan. “Setiap kali datang ke sana enggak pernah enggak antre,” ujarnya.
Sambal warung itu, menurutnya, terasa enak di lidah, walau standar rasanya lebih dominan manis. “Tapi bisa kok minta sambal yang lebih pedas,” kata dia.
Soal rasa sambal ini, ujar Ali, menyesuaikan selera sambal pembelinya yang tidak suka terlalu pedas. “Mungkin karena orang Bandung manis-manis ya,” ujarnya dengan logat Jawa sambil tersenyum.
Warung yang dibuka sejak 2002 itu semula seperti warung tenda pecel lele dan ayam biasa. Sejak 2004-2007, kata Ali, bebek goreng di tempatnya naik pamor. Kini olahan bebeknya menjadi yang terlaris. Setiap hari, warung itu menghabiskan 170-180 ekor bebek, 40 ekor ayam, dan 70 ekor ikan lele.
ANWAR SISWADI