TEMPO Interaktif, Solo - Menikmati kemegahan bangunan Keraton Kasunanan Surakarta barangkali paling tepat dilakukan dari luar keraton. Sisa-sisa kemegahan pada masa lampau terlihat jelas, melalui tembok-temboknya yang kokoh. Namun begitu masuk ke bagian dalam, kita akan lebih banyak mengelus dada.
Memasuki kawasan Kaputren, salah satu kawasan yang jarang dimasuki masyarakat umum, kita bagaikan memasuki lorong-lorong gelap. Tidak ada satu pun lampu yang menyala. Rumput serta tanaman terlihat menjalar tidak terawat.
Keraton tidak sedang berhemat listrik. Mereka memang tidak berani menghidupkan listrik di sebagian bangunan di Keputren. sebagian besar atapnya sudah jebol, sehingga mereka khawatir terjadi hubungan pendek jika listrik dinyalakan. Genangan air usai hujan yang menggenang di lantai membuktikan banyaknya atap yang bocor.
Masuk lebih dalam, terdapat sebuah bangunan yang dulunya berfungsi menjadi semacam poliklinik. Kondisinya lebih mengenaskan. Dindingnya telah mengelupas, menampakkan relief batu-bata dengan beberapa lubang. Praktis, bangunan memanjang itu saat ini sudah tidak difungsikan.
Bangunan untuk Adipati Kaputren jauh lebih parah. Bangunan itu nyaris menjadi puing-puing, lantaran pernah terbakar beberapa tahun yang lalu. Namun, keraton belum membangunnya kembali. “Butuh biaya besar,” kata GPH Puger, salah satu putra Paku Buwana XII.
Kawasan Kaputren memang cukup luas, hingga 3,5 hektar. Keseluruhan luas keraton sendiri mencapai 8,5 hektar. Di lokasi kaputren tersebut terdapat banyak bangunan dan kamar, termasuk ruang-ruang penyimpanan pusaka. Namun hanya segelintir yang ditempati.
Pengageng Parentah Sasana Wilapa, GKR Koes Murtiyah mengakui sebagian bangunan di Kaputren rusak lantaran tidak pernah digunakan. “Tidak ada yang merawat,” kata dia. Sebab, penghuni Kaputren harus memenuhi persyaratan tertentu.
Kawasan Kaputren hanya boleh ditinggali oleh istri raja serta anak-anaknya. Anak laki-laki harus segera meninggalkan Kaputren jika sudah akil balig. Sedangkan anak putri juga harus meninggalkan kawasan tersebut jika sudah menikah. “Kawasan yang pada saat saya kecil cukup ramai, sekarang sangat sepi,” kata Koes.
Sedangkan untuk memperbaiki bangunan-bangunan tua tersebut, keraton mengaku tidak memiliki biaya. “Beayanya tentu sangat besar,” kata adik aku Buwana XIII tersebut. Tiap tahun, mereka hanya mendapat anggaran Rp 1,1 miliar dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Selain untuk upacara keraton, dana tersebut juga digunakan untuk membayar 600 abdi dalem.
AHMAD RAFIQ