Pada Senin, 18 September 2017, sebuah pendopo joglo yang sudah berumur 65 tahun dipindahkan dari Dukuh Mandungan menuju Balai Desa Wiro yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Boyong Joglo ini
menempuh jarak sekitar 1,5 kilometer.
Untuk keperluan boyong joglo ini dibutuhkan 200 orang. Mereka bergantian menggotong kerangka pendopo yang terdiri dari delapan tiang utama itu. Menurut Kepala Desa Wiro, Agus Riyadi, soko atau tiang utama itu terbuat dari kayu jati utuh setinggi 3,5 meter dengan diameter 20 centimeter. "Berat total kerangka pendopo itu mencapai sekitar 1,5 ton," kata dia kepada Tempo di sela prosesi kirab Boyong Joglo.
Agus mengatakan, kerangka pendopo yang diboyong atau diusung itu merupakan bekas Balai Desa Mandungan. Karena Desa Mandungan dilebur menjadi satu dengan Desa Wiro pada tahun 60'an, pendopo tersebut akhirnya mangkrak. "Pendopo itu sempat dimanfaatkan untuk SD Negeri Wiro 4 sampai 1985," kata Agus.
Menggunakan anggaran sekitar Rp 100 juta dari Pendapatan Asli Desa (PADes) Wiro 2017, Agus berujar, kerangka pendopo joglo itu akan dibangun lagi untuk balai pertemuan di halaman balai desa seluas 13,5 x 11 meter. "Genteng dan kuda-kuda penyangga atapnya akan dipasang lagi. Sedangkan lantainya akan dibangun baru," ujar Agus.
Agus menambahkan, tradisi Boyong Joglo perlu dilestarikan untuk memupuk semangat gotong royong warga. Meski mengangkut beban berat, warga tidak meminta upah.
Bersimbah peluh menyusuri jalan beton yang terpanggang sinar matahari, sekitar 200 warga bergantian mengusung Joglo Pendopo yang dirangkai dengan tonggak-tonggak bambu. Lagu daerah Holopis Kuntul Baris dilantukan secara serempak untuk membakar semangat.
Iklan
Tak jarang beberapa warga hampir terjungkal karena kerangka pendopo joglo tersebut lebarnya 4,4 meter. Sedangkan jalan beton yang dilalui lebarnya hanya 4,5 meter dan berbatasan langsung dengan sawah. Mepet sekali!
Kendati demikian, semangat warga tetap membuncah. "Justru di sinilah tantangannya," kata Hakim, 35 tahun, warga setempat.
Selain kerumunan warga yang menggotong kerangka pendopo, tradisi Boyong Joglo juga dimeriahkan dengan pertunjukan reog, jathilan, dan arak-arakan nasi tumpeng dan hasil bumi.
Menurut sesepuh Desa Wiro, Amri Pujo Harjono, tradisi Boyong Joglo sudah jarang dilakukan karena warga kini lebih memilih membangun rumah modern. "Sejak tahun 80'an sudah jarang ada warga yang membangun rumah Joglo atau Limasan," kata Pujo. lelaki 70 tahun yang akrab dipanggil Kakek itu.
Kendati demikian, Pujo berujar, sebagian warga yang masih memiliki rumah Joglo atau Limasan terkadang masih meminta pertolongannya untuk menghitung tanggal atau hari yang baik untuk melaksanakan Boyong Joglo. "Yang penting di luar Bulan Suro," ujar Suro.
DINDA LEO LISTY (Klaten)