TEMPO.CO, Jakarta - Rasanya saya seperti bermimpi. Hari itu, di Lombok, saya berkesempatan mencoba canyoning atau canyoneering yang masih tergolong baru di Indonesia. Ini adalah olahraga alam bebas yang berbasis penelusuran sungai, ngarai/lembah, dan air terjun. Kegiatan ini memadukan berbagai teknik olahraga alam bebas seperti pemanjatan (climbing), turun tebing (rappelling), berenang (swimming), dan lompat tebing (cliff jumping).
Instruktur canyoning di Lombok, Supii Liem, mengatakan, semula kegiatan ini lebih ditujukan untuk penelitian seperti hidrologi, klimatologi, ekologi, dan berbagai penelitian lain. “Sejak akhir 1800-an, canyoning berkembang di wilayah Eropa, Amerika, serta meluas ke wilayah Australia yang disebut sebagai surga para canyoneer (sebutan untuk pegiat canyoning),” katanya.
Meski berkembang di Eropa dan Amerika, pusat organisasi internasional yang menyusun pedoman standar keselamatan justru berada di Bali, Indonesia. Organisasi bernama International Canyoning Organization Professional (ICOPro) ini mengeluarkan sertifikasi bagi instruktur canyoning.
Karena sadar canyoning bukan olahraga biasa, saya meminta teman-teman yang sudah biasa berolahraga canyoning di Lombok mendamping petualangan ini. Supii Liem dan kawan-kawannya adalah pemegang sertifikat instruktur dari ICOPro. Jadi, saya tak perlu merasa khawatir ber-canyoning.
Kami memulai petualangan ini dari Desa Gumatar di kaki Gunung Rinjani. Desa Gumatar merupakan salah satu desa adat yang masih mempertahankan nilai-nilai tradisi suku Sasak. Desa ini juga penghasil kopi Robusta di Lombok Utara. Kami menempuh waktu 20 menit dengan sepeda motor dari Desa Gumatar ke lokasi canyoning dimulai. Usai memakai semua perlengkapan standar, kami diajak menelusuri sungai Tiu Ngumbak selama tiga jam. Air terjun setinggi 50 meter yang harus dituruni jadi penutup petualangan canyoning saya di Lombok Utara.
Mau tahu petualangan saya lengkapnya? Silahkan simak video canyoning di Tempo Channel berikut ini. (Alfan Noviar)