Inovasi itu berasal dari gagasan keluarga Tjitro yang tak mau kalah dengan persaingan kuliner global. Cita rasa dari gudeg itu tak berubah, hanya ada tambahan sedikit garam dan gula pada gudeg kaleng.
Ada empat varian rasa gudeg kaleng berukuran 250 gram dengan harga yang berbeda. Gudeg kaleng pedas dijual Rp 28 ribu, original atau rasa gurih Rp 27 ribu, rendang Rp 31 ribu, dan blondo atau rasa manis Rp 26 ribu.
Per bulan rata-rata gudeng kaleng ini terjual 15 ribu kaleng. Saat libur Lebaran, gudeg kaleng ini banyak dicari pembeli. Gudeg Kaleng Bu Tjitro 1925 selama sepekan libur Idul Fitri tahun ini terjual sebanyak 1.699 kaleng.
Gudeg ini dijual di sejumlah toko makanan dan oleh-oleh dan distributor. Gudeg yang tahan lama ini sudah dibawa pembeli sebagai oleh-oleh ke negara-negara Eropa, di antaranya Inggris, Belanda, Australia. “Ekspor secara langsung belum, hanya dibawa para pelancong ke luar negeri,” kata Jumirin.
Gudeg kaleng ini punya rasa sama dengan gudeg kendil yang disajikan di restoran Bu Tjitro. Restoran ini berada di Jalan Janti No. 330, Banguntapan, Bantul.
Ada juga yang berada di Jalan Solo dekat Bandara Adisutjipto Yogyakarta. Gudeg kendil yang disajikan di restoran tahan dua hari atau 48 jam. Gudeg ini dimasak tanpa vetsin dan punya rasa gurih manis.
Menurut Jumirin, Gudeg Bu Tjitro kini diteruskan oleh anak-anak dari Tjitro. “Sekarang sudah generasi keempat,” kata Jumirin.
Mereka menjalin kerja sama dengan suplier bahan baku gudeg nangka muda dari Pasar Beringharjo, pasar tradisional terbesar di Yogyakarta. Kebutuhan nangka muda per bulan sebanyak 15 ribu kilogram.
SHINTA MAHARANI (Yogyakarta)