Bagaimana kalian mengatasi pendanaan?
Fransiska: Sangat tidak sedikit, kalau kakak saya bilang kesempatan ini harus dinikmati banget. Dia mungkin harus kerja rodi sampai 50 tahun baru bisa mengumpulkan dana untuk melakukan hal yang sama, ha-ha-ha. Ekspedisi agak molor juga salah satunya terkendala dana. Tapi kalau sekarang kami sudah dapat sponsor sampai pendakian terakhir di Everest nanti.
Di antara lima puncak, mana yang paling sulit?
Fransiska: Paling berat saat di Aconcagua, gunung keempat. Di sana banyak hal terjadi. Pertama, waktu mencapai puncaknya paling lama, lalu ada kasus teman yang sakit. Awalnya bareng bertiga, kini sisa berdua. Di sana juga kami kena badai besar dengan kecepatan 40 kilometer per jam.
Kalau kendala lainnya lebih umum, misalnya medan latihan yang tidak pernah sama, membutuhkan alat-alat dari luar dan harus shipping, belum lagi kena pajak yang tidak murah. Jadinya harus punya strategi sendiri.
Mathilda: Kondisi kami sebagai perempuan pun beda dengan laki-laki yang bisa lebih leluasa. Misal, kami harus mengatasi masa menstruasi di gunung, itu saja sudah bikin capek dan sakit fisik. Kalau mau buang air pun kan enggak bisa sembarangan.
Masalah apa saja yang khas pendaki perempuan?
Fransiska: Kalau secara fisik tidak jauh berbeda. Bedanya lebih ke bagaimana merespons sesuatu. Saya pernah tanya salah satu senior, bagaimana pas di puncak? Excited apa enggak? Dia cuma bilang biasa aja. Responsnya datar. Paling hanya bilang, ya dingin, licin....
Mathilda: Enggak ada rasa emosionalnya sama sekali, he-he-he. Kalau kami kan lebih excited ya, bisa sampai nangis sesenggukan pas sampai puncak. Roller coaster banget kalau kami ini, tapi di satu sisi tentu harus mengatur emosi juga, apalagi saat menghadapi siklus bulanan.
Pernah terpikir untuk menyerah?
Fransiska: Udah enggak terpikirkan. Kalau sekarang lebih ke mengeluh capek dan mempertanyakan dulu gue kesambet apa jadi pengen ikutan yang kayak gini? Ha-ha-ha. Tabu ya buat kami kalau memikirkan soal menyerah atau yang aneh-aneh. Mengeluh enggak apa-apa, itu masih manusiawi. Jadinya lebih ke ingat tujuan awalnya saja. Tujuan kami kan lebih besar, yaitu bukan untuk kami saja, tapi untuk Indonesia dan kami sudah berjalan sejauh ini.
Setelah seven summit, apa target selanjutnya?
Mathilda: Di dunia pendakian itu masih ada beberapa lagi, seperti grand slam, pendakian menaklukkan tiga tempat istimewa, yakni Kutub Utara, Kutub Selatan, dan pegunungan Everest; pendakian 14 puncak gunung tertinggi di dunia; ada juga mendaki tujuh gunung berapi di dunia.
Fransiska: Setelah lulus seven summits, lebih ke mensyukuri kesempatan yang ada, selesaikan kuliah. Sudah dapat ilmu yang lumayan selama ini, siapa tahu bisa kasih masukan untuk taman-taman nasional di dalam negeri karena pengelolaan taman nasional di luar bagus sekali. Semoga perjalanan kami pun nanti bisa dibukukan. Berbagi cerita, menyemangati sesama perempuan, kalau kami yang menulis pasti bisa lebih humanis, he-he-he.
***
Biodata:
Fransiska Dimitri
Jakarta, 4 Oktober 1993
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Parahyangan
Mathilda Dwi Lestari
Jakarta, 26 September 1993
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Parahyangan
Pendakian seven summits:
- Gunung Carstensz Pyramid (4.884 meter), 13 Agustus 2014
- Gunung Elbrus (5.642 meter), 15 Mei 2015
- Gunung Kilimanjaro (5.895 meter), 24 Mei 2015
- Gunung Aconcagua (6.962 meter), 31 Januari 2016
- Gunung Vinson Massif (4.892 meter), 5 Januari 2017
Pendakian dalam negeri:
Gunung Gede, Sindoro, Sumbing, Burangrang, Cikurai, Rakutak, Papandayan, Wayang, Putri Argopuro, Rengganis, Ciremai, Pangrango, Bromo, dan Semeru.