TEMPO.CO, Yogyakarta, Tentu saja, gudeg adalah menu khas di Kota Yogyakarta. Tetapi jika berkunjung ke kota ini, anda dapat mencoba menu lain yang tak kalah mak-nyus, yakni mangut lele. Di penjuru kota budaya para pelacong akan dengan mudah menemukan warung mangut lele. Dan, salah satu yang legendaries adalah: Warung mangut lele Mbah Marto.
Makanan ini tentu saja bahan dasarnya adalah lele (digoreng atau dipanggang), yang diberi bumbu mangut. Apakah mangut? Ini adalah bumbu yang terdiri dari banyak rempah yang ada di Jawa. Nah, di warung Mbah Marto semua itu diracik dengan ahli dan menghasilkan masakan yang aduhai enaknya.
Bumbu masakan yang digunakan, antara lain, bawang putih, bawang merah, cabai, kunyit, jahe, dan lengkuas, yang diuleg. Sedangkan lele-nya dipanggang menggunakan bilah-bilah bambu. Anak-anak dan saudara Mbah Marto ikut turun tangan bekerja sama membantu menyiapkan menu andalan itu.
Semua bahan makanan resep Mbah Marto dimasak dalam panci berukuran besar yang menghitam di bagian bawahnya. Makanan dimasak di atas tungku api berbahan kayu bakar.
Selain mangut lele, beragam menu lain juga siap menggoyang lidah pengunjung. Ada gudeg, opor ayam kampung, krecek, garang asem, dan lain-lain.
Semua menu itu dihidangkan di atas ambin (balai-balai) bambu yang berada di di dapur (pawon). Dan pelanggan bisa mengambil sendiri masakan yang diminati. "Silakan ambil sendiri. Nanti nambah lho ya," kata Kasilah, 41 tahun, saat ditemui Tempo, 14 Desember. Kasilah adalah salah satu anak Mbah Marto.
Keakraban dan kermaahan ala wong Jowo memang menjadi salah satu keunikan di sini. Mbah Marto juga akrab bertegur sapa dan bercanda dengan para pembeli. Kerap Mbah Marto bertanya pada pengunjung kok datang sendirian? Sebaliknya pembeli pun menanyakan kabar dan kondisi kesehatan Mbah Marto.
Sensasi lainnya adalah saat berkunjung ke sini serasa tengah beranjangsana ke rumah teman atau saudara. Pasalnya, warung ini menempati rumah kediaman Mbah Marto. Ruang tamu, tengah, dan teras dipasangi meja dan kursi dari bilah-bilah bambu.
Baca juga: Nasi Serpang: Dari Bangkalan Kaya Lauk
Mbah Marto punya nama panjang Marto Dirjo. Nenek berusia 91 tahun itu memiliki enam anak. Ia berjualan sejak tahun 1960-an. Waktu itu, Mbah Marto menjajakan nasi gudeg, opor ayam kampung, krecek, mangut lele dengan cara berkeliling jalan kaki. Makanannya disimpan dalam tenggok (sejenis bakul besar yang terbuat dari anyaman bambu) dan digendong di punggungnya. "Saya jual dari rumah ke rumah hingga Pasar Beringharjo," kata Mbah Marto dalam bahasa Jawa.
Setiap hari ia gigih menawarkan dagangannya sejak pukul 11.00 hingga 19.00 guna membiayai kehidupan keluarganya. Sejak 1989, ia tak lagi berkeliling dan mulai berjualan di warung yang sekaligus menjadi rumahnya.
Warung itu berada di belakang kampus Institut Seni Indonesi Yogyakarta, sekitar tujuh kilometer sebelah selatan pusat Kota Yogyakarta. Tempatnya nyempil melalui gang sempit di perkampungan.
Jika hendka ke sana, ancar-ancarnya adalah kantor pos di Jalan Raya besar Sewon. Dari situ silakan belok ke barat hingga ketemu Masjid Baitusalam. Lalu cari Jalan Diponegoro dan masuk ke gang sempit bernama Nyi Ageng Serang. Pada gang itulah terdapat papan bertuliskan: Mbah Marto mangut lele, sego gudeg pawon.
Warung Mbah Marto mulai buka pukul 11.00 dan tutup pukul 16.00. Harga seporsi mangut lele dan nasi di warung dipatok Rp 20 ribu. Begitu juga untuk menu berongkos, gudeg, dan nasi ayam.
Leny, seorang pembeli asal Jawa Timur, mengaku sangat menikmati suasana makan di dapur dengan cita rasa masakan tradisional itu. Menurut dia mangut lele Mbah Marto khas karena tidak amis. "Pedasnya juga sangat menantang. Cocok di lidah saya," kata dia.
Jadi, Yogyakarta memang bukan hanya gudeg, tapi ada juga mangut lele. Monggo.
SHINTA MAHARANI