TEMPO.CO, Yogyakarta - Kotagede adalah sasaran blusukan yang tidak akan ada habisnya. Ia berada di wilayah administratif yang terbagi antara Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul.
Kotagede punya cerita sejarah berdirinya, hingga jalan-jalan menuju lokasi peninggalan bersejarah. Ada pula perkampungan tradisional, tempat pengunjung melihat kehidupan masyarakatnya. Kisah-kisah yang disampaikan pemandu wisata pun terdengar tidak logis, penuh mitos, penuh tanda tanya, tapi ternyata tetap menarik minat orang untuk datang berkunjung.
“Untuk wisata, yang diutamakan cerita yang popular. Asalnya cerita tutur, turun temurun,” kata Koordinator Jelajah Pusaka Kotagede Shinta Noor Kumala kepada Tempo, Ahad, 4 September 2016.
Tempo ikut blusukan ke tempat-tempat wisata di Kotagede, salah satunya di Sendhang Seliran. Letaknya di selatan tembok Pasareyan Ageng atau makam Panembahan Senopati yang menjadi peletak dasar Kerajaan Mataram Islam.
Untuk menuju ke sana, pengunjung harus menuruni beberapa anak tangga karena lokasinya lebih rendah dari makam. Ada sumur yang konon sumber airnya dari hasil hujaman tombak kecil milik Sunan Kalijaga.
Sumber air yang disebut Sumber Kemuning tak pernah kering. Ia disebut kemuning karena ada pohon kemuning yang ditanam di sana. Satu lagi Sumber Kemuning berada di luar komplek makam raja-raja Mataram yang dibendung warga desa untuk mencukupi kebutuhan penduduk.
Saat dilongok ke bibir sumur, airnya tampak bening dan melimpah. Orang cukup mengambil airnya dengan menggunakan gayung, tanpa harus ditimba. Permukaan air tak sampai semeter dari bibir sumur dengan total kedalaman sekitar 3-5 meter. “Logikanya, karena lokasi sendhang dan sumur kan di dataran rendah. Jadi airnya ada terus. Beda dengan yang di dataran tinggi,” kata Shinta.
Begitu pula dengan satu bagian tembok di sisi utara makam yang terlihat paling rapuh. Tembok itu tinggal susunan bata-bata merah yang tak berdiri kokoh. Menurut warga kampung Rejowinangun, Kotagede, David Nugroho, tembok itu dulu pernah dijebol untuk jalan bagi jenazah Sultan Hamengku Buwono II. Lantaran Keraton Yogyakarta membuat aturan, bahwa raja-raja Mataram harus dimakamkan di Imogiri, bukan di Kotagede.
Di sisi lain, Belanda pun melarang HB II dimakamkan di Kotagede. Mengingat Sultan yang hidup masa 1750-1828 itu dikenal berwatak keras dan antikompromi dengan Pemerintah Kolonial Belanda. “Untuk menyiasatinya dengan menjebol tembok dari samping. Makam HB II waktu itu juga tetap dijaga,” kata David.
Begitu pula dengan mitos tiga watu gatheng yang dikabarkan alat permainan Raden Rangga, anak Panembahan Senopati. Batu itu berwarna kuning, berat, dengan diameter masing-masing 31, 27, dan 15 sentimeter. Gatheng yang sejenis dengan permainan bola bekel, konon mudah dilakukan Rangga yang sakti sejak kecil dengan mengankat dan melempar batu seberat dan sebesar itu secara berulang.
Namun menurut informasi sejarawan kepada Shinta, tiga batu itu adalah peluru meriam yang akan dibawa Sultan Agung ke Batavia untuk menghancurkan VOC. Tiga batu itu masih disimpan dalam satu bangunan bersama watu gilang dan watu genthong yang terletak sekitar satu kilometer di selatan Pasar Kotagede.
“Versinya banyak. Tapi untuk wisata, kami pilih yang menarik. Kalau berbeda, bisa diprotes orang ,” kata Shinta.
PITO AGUSTIN RUDIANA