TEMPO.CO, Jakarta - Obrolan mengalir lancar saat perut kenyang. Seperti yang dirasakan Usman Hamid di Sleepless, gerai makan anyar di Tebet, Jakarta Selatan, dua pekan lalu. Dengan makanan tersaji di piring masing-masing, aktivis hak asasi manusia itu terlibat perbincangan santai dengan teman-temannya. “Kalau soal makanan, biasanya yang beda sudut pandang politik bisa akur,” ujar Usman tertawa, seperti ditulis Koran Tempo, Rabu, 23 Maret 2016.
Berlokasi di Jalan Tebet Utara Dalam, gerai itu dibuka 6 Maret lalu. “Awalnya mau buat coffee shop 24 jam, makanya namanya Sleepless,” ujar Made Repel Sandji, pemilik tempat itu, kepada Tempo. Namun niat tersebut belum kesampaian. “Masih dalam proses perbaikan macam-macam.” Jadinya Sleepless buka mulai pukul 11.00 sampai 23.00 saban hari.
Made, yang juga pemilik Smarapura, restoran Bali di Tebet, lebih berperan sebagai penyedia tempat di Sleepless. Dia hanya mengisi satu dari sepuluh gerai di pujasera itu dengan sajian bubur dan lontong Bali. Sisanya, dikelola orang lain.
Mereka di antaranya Usman Hamid, 39 tahun. Aktivis lulusan Universitas Trisakti ini mengusung kedai hotdog @Diyoji. Menggandeng koki sekaligus budayawan Rahung Nasution, dia juga menyiapkan satu gerai lagi untuk menyajikan menu lokal yang dipadukan dengan masakan asing. “Kami berencana menghadirkan menu sehat untuk melawan sajian menu instan dan junkfood,” kata Usman.
Di Sleepless kita juga bisa mendapati tekwan, dimsum, steik, mi koclok Cirebon, sate maranggi, serta kerang dan tutut. “Semua makanan di sini saya tes dulu. Kalau enggak sehat, ya, saya tolak,” tutur Made.
Kisaran harga makanan di sana adalah Rp 12–35 ribu per porsi. Saya mencicipi bubur Bali dari kedai Smarapura. Porsinya tak terlalu besar, tapi cukup mengenyangkan karena penuh sayuran, kuah santan kuning, kacang, dan daging ayam. Sekilas mirip bubur Manado.
Sleepless didesain seolah sebagai pengusir kantuk. Lihat saja temboknya yang berwarna-warni layaknya taman kanak-kanak. Ruangan dibuat terbuka dengan langit-langit tinggi dan lampu gantung di setiap meja. Di sudut ruangan, terdapat panggung 2 x 4 meter--dengan panel kayu yang juga warna-warni--sebagai tempat musik dan hiburan hidup lainnya.
Usman ingin menjadikan Sleepless sebagai tempat kongko para aktivis. Dia mengatakan, pada era keterbukaan saat ini, demokrasi menunjukkan paradoksnya. “Di satu sisi memberi kebebasan, tapi di sisi lain masih memberi represi,” ucapnya. “Dari dapur dan ruang makan seperti ini, revolusi bisa dimulai kembali.”
AISHA SHAIDRA