TEMPO.CO, Karanganyar - Saya memasuki pintu pabrik gula ini dengan perasaan sedikit meluap. Menempel di bagian barat bangunan tua, pintu yang kusennya terbuat dari besi itu seolah menjadi tapal batas antara masa kini dan masa silam. Saya yakin di dalam ruangan pabrik yang berdiri sejak 1861 ini akan banyak kutemui mesin-mesin kuno yang menyimpan sejarah panjang. Alat-alat yang pernah menggerakkan kejayaan pabrik sepanjang abad ke-19 hingga ke-20 silam.
Dan, benar, begitu melintasi pintu, terbentanglah pemandangan menakjubkan itu. Di hadapanku, terbentang sebuah level setinggi 1 meter yang dibangun sejajar dengan tembok depan. Di atas “panggung” selebar dua meter dan panjang lebih dari 25 meter itu, terdapat empat roda baja raksasa yang dipasang berurutan. Ini mirip seperti sebuah engkol dalam sepeda, tapi dengan skala gigantik. Dan pada setiap roda berdiameter empat meter itu, di sampingnya menempel roda-roda lebih kecil dan bergerigi.
Terbayang suara menderam ketika dulu roda-roda itu menggerakkan seluruh rangkaian penggilingan. Di sekelilingnya para pekerja sibuk melakukan banyak hal. Ada yang mengoperasikan mesin, juga ada yang mengawasi agar kecepatan putaran roda terjaga dalam standar yang diinginkan. Tapi, itu dulu. Sebab, kini yang kulihat besi-besi berkarat itu semua membeku dingin.
Pabrik Gula Tjolomadu ini memang sudah lama tak beroperasi. Dibangun pada 1861 oleh KGPAA Mangkunegara IV, pabrik yang berdiri di kawasan Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, ini melakukan penggilingan terakhir pada 1 Mei 1997. Bersama PG Tasikmadu (Karanganyar), yang juga dibangun Mangkunegara, kedua pabrik ini adalah penggerak kejayaan agroindustri di zaman kolonial hingga era Orde Baru. PG Tasikmadu sampai sekarang masih beroperasi, meski hanya selama empat bulan dalam setahun.
Sejak menuntaskan peran sejarahnya, PG Colomadu tak bisa lagi disambangi masyarakat kebanyakan. Warga hanya bisa memandang bangunan berwarna kuning kusam ini dari halaman, dan tak diizinkan memasuki ruangan pabrik.
“Sehari-hari, ya, cuma ada kami dan petugas kebersihan, Mas. Juga para petugas kebun yang hanya mampir sebentar sebelum terjun ke kebun-kebun tebu,” kata seorang petugas keamanan di pos satpam, area gerbang pabrik, awal November 2015 lalu. Dia menegaskan, setiap yang ingin masuk area pabrik mesti mendapat izin dari pengelola PG Tasikmadu—yang memang sekarang mengawasi “saudara kembar”-nya tersebut.
Jangankan masuk ke ruangan pabrik. Waktu itu saya juga dilarang menjelajahi kompleks pabrik yang total seluas 1 hektare tersebut. “Kalau mau motret, boleh. Tapi, ya, dari sini saja,” ujar Pak Satpam seraya mesem. Saya balas dengan senyuman masam!
Kesempatan memasuki pabrik dan menjelajah kompleks terbuka ketika pertengahan November lalu lokasi ini dijadikan arena festival budaya memperingati hari ulang tahun Kabupaten Karanganyar. Halaman pabrik dibuka untuk stan-stan penjualan. Sedangkan bagian dalam dipakai untuk pementasan tari yang diprakarsai penari kawakan Sardono W. Kusumo. Dia bersama sejumlah koleganya akan merespons semua yang ada di dalam pabrik ke dalam seni gerak tubuh.
Maka, saya kembali mengunjungi pabrik di Jalan Adi Sucipto itu karena kesempatan terbuka untuk masuk ke dalam. Sebenarnya dorongan lain adalah adanya sebuah berita bahwa pabrik ini akan disulap menjadi kawasan bisnis dan hotel oleh pemerintah setempat. Bahkan rencana itu sudah disetujui Menteri BUMN Rini Soemarno. Saya masygul, lagi-lagi kekayaan sejarah akan takluk oleh kuasa uang. Maka, mendatangi kompleks ini bagai ziarah terakhir sebelum segalanya berubah menjadi mal.
Maka, siang itu, di sinilah saya sekarang, di dalam pabrik, sebelum keramaian festival dan pertunjukan tari dimulai sore nanti. Sebuah kesempatan yang langka karena suasana masih tenang dan sepi. Yang ada hanya saya dan mesin-mesin tua berkarat di area seluas lapangan sepak-bola ini. Ruangan cukup terang oleh cahaya matahari yang menerobos dari atap seng setinggi 25 meter di atas sana, dan terbuka di sana-sini.
Saya meneruskan langkah. Setelah “wahana” panggung roda-roda raksasa tadi, ruangan sisanya secara garis besar terdiri atas tiga blok. Ketiganya masing-masing membujur hingga ke belakang, dan pastilah dulu memiliki fungsinya sendiri-sendiri.
Perhatian kini teralih pada bagian tengah yang terdapat tanur-tanur besar di dinding sebelah timur. Tanur-tanur itu ditempatkan di bagian atas dan ditopang rangkaian besi baja. Bisa saja deretan tabung raksasa dari logam itu dulunya untuk menampung hasil gilingan tebu sebelum dialirkan ke bagian lain. Karena terlihat slang-slang raksasa dan katup-katup penutup di sela deretan tanur.
Melihat jalinan mesin berwarna cokelat kusam itu, sungguh tak terbayangkan bahwa dari sanalah pernah dihasilkan butiran kristal putih bersih. Di tabung-tabung besar itulah salah satu bagian penting dari perjalanan batangan tebu di kebun-kebun, untuk menjadi gula, mesti dilalui hingga akhirnya menghuni cangkir teh atau kopi di meja keluarga-keluarga di Jawa Tengah.
Ini seperti penyederhanaan mengenai posisi penting pabrik gula Colomadu pada peta besar kehidupan masyarakat Jawa masa silam. Dengan cara itulah kemudian saya berusaha “berdialog” dengan berbagai mesin dan ruangan lawas di setiap sudut pabrik gula ini.
Pada blok paling kanan tak banyak mesin, kecuali bentangan-bentangan besi, dan beberapa bangunan semacam tungku-perapian. Juga ada ruangan-ruangan yang sepertinya untuk kantor di dalam pabrik. Barangkali inilah ruangan untuk mereka yang lebih terdidik dan mengerjakan tugas-tugas administratif.
Saya hanya membiarkan pikiran melayang bebas merespons apa yang terlihat. Tentu saja saya tak tahu apakah pada masa itu sudah ada kaum bumiputra yang bekerja di bidang administrasi. KGPAA Mangkunegara IV pada masa itu mempercayakan pengelolaan pabrik kepada seorang ahli berkebangsaan Jerman bernama R. Kampf. Dia pulalah yang sebelumnya membangun pabrik ini atas perintah penguasa keraton Mangkunegara itu. Kelak, jabatan pengelola pabrik diteruskan ke anak kandungnya. Jadi, mesti membuka arsip sejarah untuk mengetahui jenjang kedudukan yang dikerjakan rakyat kebanyakan di dalam pabrik.
Tetapi, bukankah itu asyik menjelajahi sebuah kawasan dalam suasana senyap—meskipun satu-dua kali saya berpapasan dengan panitia pertunjukan dan seniman tari yang nanti sore akan manggung? Dalam keheningan siang itu, memandang dan menyentuh langsung “artefak” yang pernah mempengaruhi hidup masyarakat Tanah Jawa seperti menciptakan lorong waktu yang mengaitkan masa lalu dengan hari ini. Saya merasa beruntung berada di lorong itu untuk memahami persambungannya.
Dan, dalam perjalanan yang tak hanya melibatkan kesadaran fisik semacam itu, kadang diri akan menemukan tikungan tak terduga. Liku itu ada di blok paling belakang, ketika tiba-tiba saya mendapati diri berada di depan semacam aula besar, dengan permukaan lantai yang lebih tinggi daripada seluruh ruangan pabrik. Di dua dindingnya yang demikian tinggi, terdapat pasangan-pasangan jendela kaca yang berbentuk batang memanjang ke atas. Betapa impresifnya ruangan ini, saya membatin.
Apakah ini dulu sebuah ruang pertemuan sekaligus tempat pertunjukan kesenian? Pikiran ini tidak mengada-ada. Ingat, Mangkunegara IV adalah sosok yang dikenal juga sebagai seorang sastrawan. Dia sepanjang hidupnya ia telah menganggit 42 karya, yang sebagian di antaranya, misalnya Serat Tri Pama, bahkan masih diperdengarkan hingga kini. Siapa tahu dia ingin memanfaatkan sebagian ruang dalam pabrik untuk mendorong kehidupan kesenian?
Ataukah ruangan ini justru semacam lini akhir dari proses produksi tempat menimbun gula yang sudah dikemas dan siap dikirim ke pelosok daerah perdikan? Bisa saja.
Saya menikmati pikiran-pikiran liar semacam itu, yang ternyata dalam waktu tidak begitu lama bakal mendapat “konfirmasi” para seniman. Ruangan ini ternyata akhirnya dijadikan titik puncak dari rangkaian pertunjukan Sardono sore harinya. Karena di sinilah Sardono menari berkolaborasi dengan penyair Sapardi Djoko yang membacakan sajak, plus iringan gesekan cello dari seorang pemain. Indah sekali….
Menapaki satu demi satu blok dalam pabrik ini, berusaha masuk ke dalam kisah panjangnya, perasaan saya terasa segar dan penuh. Ini seperti impresi yang muncul seusai bersua dengan kawan dari masa lampau yang sekian lama terpisah, lalu mengobrol hangat tentang perjalanan masing-masing yang telah tertempuh.
Jika bisa bercerita, saya rasa pabrik ini tak akan bicara tentang dirinya sendiri saja. Pada kisahnya juga akan tersimpan riwayat panjang ihwal pergeseran budaya masyarakat Jawa dari agraris menuju agro-industri. Mesin-mesin produksi yang kini membeku itu bukanlah sekadar benda mati. Di sepanjang tiang-tiang besinya seperti ditegakkan cita-cita raja Jawa yang ingin memakmurkan warganya. Dan di setiap bautnya bagai terpantek kisah leluhurku kaum petani agraris menjalani hari-harinya.
Saat keluar dari pintu pabrik itu saya berubah menjadi gamang karena teringat bahwa mata investor tengah memicing tempat ini. Seluruh warisan sejarah yang baru kuselami tadi mungkin sebentar lagi raib entah ke mana, tergantikan hiruk-pikuk kemodernan.
Tetapi saya masih menyimpan harapan, bahwa sang penguasa bersedia mengambil jalan menikung dan menjadikan tempat ini sebagai semacam laboratorium budaya. Sebuah tempat di mana siapa saja bisa menyelami masa silam, dan mengkaji berbagai kearifan budaya yang layak disemaikan. Bukankah seharusnya hidup ini tidak sekadar mengejar kepuasan materi belaka?
Saya berharap, kunjunganku ini bukan sebuah perjalanan terakhir ke Pabrik Gula Colomadu….
TULUS WIJANARKO