TEMPO.CO, Yogyakarta - Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa di bidang pendidikan dan kebudayaan, UNESCO, telah menetapkan batik sebagai salah satu Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi sejak 2 Oktober 2009. Namun ironisnya, masih banyak perajin batik, khususnya di Yogyakarta, belum mendapatkan imbalan yang setimpal atas karya-karya yang dibuatnya.
"Kami digaji mingguan per kain. Satu minggu Rp 200 ribu," ujar salah satu perajin yang enggan menyebutkan namanya kepada Tempo, Senin, 7 Desember 2015.
Ia mengatakan upah tersebut sangat pas-pasan hanya untuk kebutuhan sehari-hari saja. Padahal, untuk membuat satu kain batik tulis berukuran dua setengah meter, perajin membutuhkan waktu tiga pekan hingga satu bulan untuk menghasilkan kain yang berkualitas.
"Awalnya kain dilukis, lalu dicanting, setelah dicanting kain direbus untuk menambahkan warna," katanya. Proses canting dan pewarnaan inilah yang menurut dia membutuhkan waktu yang sangat lama.
Ia bercerita, satu hari ia mendengarkan wawancara dengan pejabat kota dalam siaran radio. Pejabat tersebut mengatakan batik merupakan warisan dunia sehingga perajinnya harus dihargai. "Waktu itu beliau mengusulkan setidaknya para pengrajin itu diberi gaji UMR," ujar dia.
Namun, bagi perajin sepertinya hal itu hanyalah angan-angan semata. "Sampai sekarang endak ada yang berani bilang. Kami takut," ujarnya.
Tempo berkesempatan untuk melihat-lihat kain batik yang telah dibuat para perajin di tempat tersebut. Ternyata, toko mematok harga mulai dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Bahkan, Tempo juga menemukan dua meter kain batik seharga belasan juta rupiah.
Masuknya batik sebagai salah satu warisan dunia oleh UNESCO diharapkan dapat memotivasi dan mengangkat harkat perajin batik. Tak hanya itu, hal ini juga diharapkan bisa mendukung usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
"Masih banyak pengrajin batik yang hidup seadanya, saya berharap siapa pun yang di luar saya bisa mendengar suara kami," ujarnya.
DINI TEJA