TEMPO.CO, Jakarta - Suku Bajo dikenal lama sebagai suku yang hidup di laut. Mereka tidak tinggal di tepi laut, tapi benar-benar di atasnya. Bulan lalu, saat meliput untuk edisi khusus wisata majalah Tempo, kami berkesempatan bertemu dengan satu keluarga yang masih tinggal di perahu kecil.
Suatu pagi, dari rumah Kepala Desa Sombori, Morowali, Sulawesi Tengah, kami menyaksikan satu keluarga Bajo turun dari perahu untuk menjual hasil tangkapan mereka kepada tetangga Hatta, yang menjadi pengepul ikan. Setelah mereka bertransaksi, saya mengajak Udi, sang kepala keluarga, berbincang.
Udi bersama istrinya, Rukayah, serta dua putranya yang masih bocah, Momo dan Fadel, hidup di leppa—perahu kecil tanpa mesin. Merekalah keluarga terakhir di kawasan Sombori yang menjadikan leppa sebagai tempat tinggal. Mereka tidur, memancing, dan membuat tungku di atas sampan. “Rumah” keluarga Udi tanpa dinding bilik. Atapnya dari terpal rombeng. Agar perahu stabil saat dibantun ombak, Udi memasang cadik sebelah yang diikat seadanya.
Udi mengayuh dayung di antara pulau-pulau di kawasan Sombori. Ia menangkap apa pun yang bisa didapat mata pancingnya. Sesekali ia menyelam untuk menombak gurita. Hasil laut segar itu kemudian dijual kepada pengepul. “Bukan per ekor, melainkan per kilo,” ujarnya. Ikan apa pun, kata Udi, dihargai Rp 4.000 per kilogram. Hanya Rp 4.000 untuk ikan ”sekali mati”!
Dari hasil melego ikan, Udi membeli makanan pokok. Sinole lebih murah ketimbang beras.
Walau begitu, Udi berniat menetap di Mbokitta, desa di kawasan Sombori. Ia ingin anak-anaknya kelak bersekolah di satu-satunya sekolah dasar di pulau tersebut. Udi hanya pernah mengecap bangku sekolah hingga kelas I SD. Ia tak hafal berapa umurnya sekarang.
ANTONS