TEMPO.CO, Jakarta - Laut di Kepulauan Padaido, Biak, Papua, benar-benar membuat saya lepas dari ketergantungan terhadap listrik dan telepon seluler. Saya betul-betul terlena dalam wisata pantai kali ini.
Coba lihat Rasi, pulau paling selatan di wilayah perairan Meosmangguandi. Di sini butiran pasir putih sehalus tepung membentang di pantai yang lebar dan meninggi. Di depan sana, warna laut biru bergradasi.
Cobalah juga ke Kebori. Terletak di antara Meosmangguandi dan Rasi, laut di pulau tak berpenghuni ini dangkal dan tenang. Dari atas perahu, Anda pasti tergoda untuk segera melompat. Ikan kecil beraneka warna berkerumun, lalu-lalang, di atas koral beraneka warna yang membentang tak jauh di depan pantai pasir putih sebelah timur.
Kami sempat menginap di sana. Malam itu seolah tak ada lagi yang dibutuhkan dalam hidup ini. Api unggun telah berkobar di atas pasir yang menimbun singkong. Empat ikan gemuk, tiga di antaranya baronang, siap dibakar setelah terperangkap jala yang belum lama dijulurkan Nikson menjelang laut surut. Ditambah lagi sepuluh bungkus mi instan siap dimasak. Ai mama....
Pada hari terakhir di Meosmangguandi, kami mampir ke gugusan pulau seberang di utara. Dalam perjalanan, sekelompok lumba-lumba berlompatan, seolah ingin berkejaran dengan perahu kami yang melintas di tengah laut perbatasan Pulau Pasi, Mbromsi, dan Dauwi. Di pulau terakhir ini, kami sengaja menunggu petang, lalu pergi ke Pulau Samakur.
Warga sekitar menjuluki Samakur sebagai Pulau Burung. Bukan bentuk pulaunya yang mirip burung, melainkan ketika lembayung di langit barat Padaido semakin merah, ratusan ribu--jika tak ingin menyebut jutaan--burung laut berduyun-duyun terbang mendekati pulau tersebut.
Selama beberapa saat mereka berputar-putar di atasnya. Tidak untuk berburu mangsa, melainkan menunggu kelelawar pergi dari tebing-tebing padas di tengah pulau itu untuk kemudian menjadikannya tempat peristirahatan. Esok pagi, giliran bangau yang pergi digantikan kelelawar, begitu seterusnya....
Lihat videonya:
AGOENG WIJAYA