TEMPO.CO, Jakarta - Di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, kita bisa mematahkan kompas, mengangkat jangkar, lalu membiarkan perahu dibawa ombak. Di pulau mana pun terdampar, kita akan mendapati pantai berpasir putih dan laut kehijauan. Airnya begitu jernih hingga dari atas perahu kita bisa melihat karang dan ikan.
Bulan lalu, kami—saya dan fotografer Nita Dian—mengunjungi Sangihe dalam rangka pembuatan edisi khusus majalah Tempo edisi 16 November 2015.
"Ada lebih dari 150 pulau di kabupaten ini dan hanya 26 yang berpenghuni," kata Kepala Dinas Pariwisata Sangihe Jeffry F. Gaghana.
Pantai-pantai inilah yang mengilhami Jan Engelbert Tatengkeng menulis puisi-puisinya hampir seabad lalu. Deskripsi Di Pantai Waktu Petang persis terwujud. "Berkawan-kawan perahu nelayan/Tinggalkan teluk masuk harungan/Merawan-rawan lagunya nelayan/Bayangan cinta kenang-kenangan//Syamsu mengintai di balik gunung/Bulan naik tersenyum simpul."
Hidup di pulau-pulau kecil membuat kekerabatan masyarakat di sana amat kuat. Dengan laut yang mengitari, ketergantungan mereka pada sesama penduduk pulau begitu tinggi. Tak heran, dari sini muncul budaya gotong-royong kuat yang dikenal sebagai mekakendage.
Ada cerita menarik tentang kerukunan antarumat beragama di Sangihe. Suatu senja, kami sedang mengaso di Kendahe setelah mengunjungi air terjun Pempanikiang. Meski kemarau, air terjun ini masih terlihat perkasa. Mungkin karena kualanya diapit batu-batu menjulang setinggi 20 meter dan membuat jalan masuk yang sempit.
Sebenarnya ada air terjun lain yang wajib dikunjungi di Pulau Sangihe Besar ini, yaitu Kadadima, yang berada di Desa Laine, Kecamatan Manganitu Selatan. Air terjun ini bertingkat tiga dengan kolam sedalam 14 meter kebiruan seperti laut yang terjebak di atas pegunungan. Hanya saja, untuk mencapainya, kami harus berjalan satu jam menerobos hutan. Karena waktu yang sempit, kami memilih Pempanikian, yang hanya perlu 15 menit berjalan kaki dari jalan aspal.
Kelar mandi di air terjun, kami memutuskan mampir sebentar di rumah Hendra Manabung, 28 tahun, penyelam yang selama berhari-hari menemani kami di Sangihe. Sambil menikmati kopi, Hendra bercerita bagaimana Natal dan Lebaran berlangsung di kampung orang tuanya ini di Kendahe Satu. Mayoritas penduduk kampung ini beragama Kristen. "Ketika Lebaran, penduduk kampung ini menyebar ke dua kampung sebelah yang mayoritas penduduknya muslim," kata Hendra, seorang Kristen. "Selain mengucapkan selamat, kami membawa kado." Sebaliknya, ketika Natal, penduduk dua kampung sebelah datang ke kampung ini untuk memberi selamat.
Hal yang sama dikatakan Mahare saat kami bertamu ke rumahnya di Kampung Biru. Menurut dia, ketika ada gotong-royong di gereja, umat Islam datang membantu. Demikian juga sebaliknya, ketika ada perayaan agama Islam. "Separuh panitia berasal dari Kristen," ucap Mahare.
Dulu, sebelum dimekarkan, mayoritas penduduk Kampung Biru beragama Islam. Karena tidak ada gereja, umat Kristen beribadah di gereja kampung lain yang lumayan jauh. "Lalu ada inisiatif dari umat Islam di sini. Mereka meminta pemimpin gereja di kampung sebelah untuk membangunkan gereja di Biru," ujar Mahare, yang pernah menjadi kapitalaung Biru. "Bahkan tanah untuk gereja pun disediakan umat Islam."
Klik, untuk menyaksikan video keindahan Sangihe.
Pagi buta, ketika matahari belum tampak tapi langit sudah terlihat bercahaya, kami bergerak dari pantai ini dengan perahu nelayan. Sebelum kembali ke Petta di pulau besar, kami mampir di sejumlah pulau yang terserak. Di antaranya Poa yang tak berpenghuni.
Ada dua pantai berpasir putih bersih yang menghiasi pulau ini, masing-masing sepanjang 300 meter. Sisanya adalah tebing-tebing karang menjulang. Kami berhenti di salah satu pantainya dan mulai memanjat karang, melewati pohon-pohon kelapa dan pandan. Dari atas, kami bisa melihat pantai yang putih dan air laut kehijauan seperti giok.
Teks: Qaris Tajudin
Foto: Nita Dian