TEMPO.CO, Jakarta - Barat dan Timur bersatu di Letter D Cuisine & Bar. Lembutnya tekstur daging ikan salmon-yang hidup di Samudra Atlantik dan Pasifik-berpadu dengan gurihnya kuah santan sayur lodeh di dapur tempat makan di Jalan Ahmad Dahlan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, itu.
Judul racikannya pun sukses membetot perhatian dan membuat dahi berkerut: salmon lodeh. Pantas kalau Letter D mengusung tema The Interplay of Two Cultures alias saling-silang dua kebudayaan.
Restoran yang dirintis Degan Septoadji Suprojadi alias Chef Degan tersebut dibuka awal tahun ini. "Dia yang mengembangkan menu dan menetapkan standar rasa," kata Aulia Annisa, koordinator pemasaran Letter D Cuisine & Bar, tiga hari lalu.
Tak mengherankan jika menu yang mereka tawarkan lekat dengan filosofi memasak koki yang menjadi juri MasterChef itu. Menurut Aulia, Degan percaya ada pertalian erat antara masakan dan kebudayaan. Selanjutnya, menyatukan dua kebudayaan, termasuk dua masakan, dalam satu wadah bukan hal yang muskil. "Tantangannya ialah membuat masakan itu tetap dikenali identitasnya ketika dicicipi," ujarnya.
Tanpa pikir panjang, kami memesan yum nuea sebagai hidangan pembuka. Juga semangkuk laksa yang berdampingan dengan salmon lodeh sebagai sajian utama. Bersama dua santapan itu, paket ayam bakar tak luput dari radar. Sebagai penutup, resep dari Britania Raya, yakni Eton mess, menjadi pilihan.
Tak sampai 15 menit, pesanan itu datang. Yum nuea menjadi hidangan pertama yang diburu. Makanan asli Thailand ini tampak segar dengan dominasi hijau dari mentimun dan daun seledri serta merah dari irisan tomat. Lembaran tipis daging sapi hanya terselip di antara timbunan mentimun dan tomat. Kesegaran timun dan tomat berpadu dengan air jeruk nipis yang kecut siap membuat gigi menjepit lidah berulang-ulang.
Berikutnya, laksa dan salmon lodeh sudah menunggu. Layaknya hidangan bercita rasa Melayu, laksa menghadirkan sensasi pedasnya rempah-rempah dengan kuah kuning, udang, bola-bola ikan, dan tahu. Tak disangka, bumbu rempahnya tak seberat masakan ala Aceh yang membuat tenggorokan panas. Laksa Letter D amat ringan, sehingga pedasnya mentok di langit-langit mulut.
Tibalah sajian andalan Letter D. Salmon lodeh hadir dalam gaya kebarat-baratan. Lodeh yang dikenal sebagai sayur campur-aduk di Jawa, Sunda, dan Betawi tak dijumpai di sini. Jangan harap pula menemukan tempe yang tenggelam di dalam kuah santan keruh. Pusat perhatian, tentu saja, tertuju pada potongan ikan salmon yang diiris dengan panjang sekitar 15 sentimeter dan tebal 2 sentimeter. Potongan ikan itu dipanggang sampai merahnya daging menjadi sedikit kuning keemasan, lalu dibaringkan di atas tumpukan irisan terong dan labu. Ide pembuatan salmon lodeh, kata Aulia, "Untuk membawa masakan Indonesia ke level yang lebih tinggi."
Rasa manis terasa pada kuah santan yang putih dan tak keruh. Sebagai boga yang menggabungkan dua masakan dari kebudayaan berbeda, salmon lodeh terbilang sukses. Sayangnya, potongan salmon gagal menceburkan diri dalam kuah. Sayur lodeh dan salmon seolah-olah menjadi dua bagian terpisah. Berbeda dengan sayur lodeh bercampur tempe yang sejak awal dimasak bareng kuah santan.
Beralih ke ayam bakar. Melirik harganya yang tinggi, kami memesan masakan ini dengan harapan tinggi. Ternyata, bumbu kecap tidak meresap ke daging ayam olahan Letter D itu. Namun sajian ini terselamatkan tekstur daging ayamnya yang lembut serta pilihan tiga sambal sekaligus: bajak, kecap, dan mentah.
Petualangan kami sore itu berakhir pada semangkuk Eton mess, yang terdiri atas es krim vanila, rajangan stroberi, krim, dan kue busa (meringue). Sebagai pencinta es krim, saya kecewa karena percampuran krim dengan es vanila itu mengaburkan sensasi dinginnya. Untungnya, kue busa dan rajangan stroberi yang disembunyikan di dasar mangkuk berhasil menciptakan kejutan ketika sampai di lidah.
Ihwal harga, pengelola Letter D Cuisine & Bar mengklaim tarif mereka moderat. Salmon lodeh dibanderol Rp 130 ribu, laksa Rp 90 ribu, sedangkan ayam bakar dan yum nuea bisa ditebus dengan Rp 100 ribu. "Kami tak ingin pencinta kuliner segan masuk ke restoran ini karena masalah harga," kata Aulia.
TIM TEMPO