Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Menikmati Festival Horor Tangkeno Suku Tertua di Sulawesi

image-gnews
Suasana pantai Redondo, saat diadakan festival layangan. Layangan sudah dimainkan sejak 4.000 tahun yang lalu, menurut catatan sejarah tertua permainan layangan di Indonesia, berawal dari daerah Pulau Muna, Sulawesi tenggara dengan nama Kaghati, yang terbuat dari daun kolope. California, Amerika, 8 Maret 2015. REUTERS / Lucy Nicholson
Suasana pantai Redondo, saat diadakan festival layangan. Layangan sudah dimainkan sejak 4.000 tahun yang lalu, menurut catatan sejarah tertua permainan layangan di Indonesia, berawal dari daerah Pulau Muna, Sulawesi tenggara dengan nama Kaghati, yang terbuat dari daun kolope. California, Amerika, 8 Maret 2015. REUTERS / Lucy Nicholson
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Tubuh berbungkus jaket parasut tebal saat kami bersua pagi di Desa Rahadopi. Waktu menunjukkan pukul 07.10. Darman bangun lebih dulu dan berjongkok di sisi perapian tanah. Ia kedinginan. Pemilik rumah menyuguhi kopi plus sepiring kue. Kami sengaja datang untuk Festival Tangkeno 2015, sebuah festival budaya-tradisi dari suku tertua di Sulawesi Tenggara. Festival ini dirangkai Sail Indonesia 2015 yang melayari rute Sail Sagori 2015. Dulu festival ini selalui dihiasi dengan Lumense yang mengorbankan nyawa manusia.

Dari Desa Rahadopi, di ketinggian 680 mdpl, atol Sagori tampak di sisi barat, berjarak 2,5 nautikal mil dari Pantai Kabaena, melengkung sabit bulan berwarna putih dengan laguna biru pekat di tengahnya. Air surut, laut teduh sekali pada awal September ini. Karang Sagori merupakan atol terbesar ketiga di Indonesia dan keempat di dunia.

Saya teringat sejarah kelam di atol Sagori ini. Pada paruh abad ke-17, dunia pelayaran dikejutkan suatu malapetaka-Ternatan Fleet: Bergen op Zoom (jenis yacht, berbobot 300 GT), Luijpaert (yacht, 320 GT), Aechtekercke (yacht, 100 GT), dan De Joffer (fluyt, 480 GT), dikomandoi Tijger (retourschip, 1.000 GT) karam sekaligus di karang ini pada 4 Maret 1650. Armada VOC ini sedang melayari rute Batavia-Ternate melalui Selat Kabaena. Sebanyak 581 orang awak kapal, serdadu, dan saudagar dapat menyelamatkan diri.

Matahari beranjak naik. Menurut informasi, festival akan dibuka pada pukul 10 pagi (2 September 2015). Kami harus bergegas ke Plaza Tangkeno. Motor sewaan kami harus menanjak 5 km hingga di ketinggian 800 mdpl, di pinggang Gunung Sabampolulu. Jalan beraspal dan sedikit pengerasan sebagai bagian dari proyek lingkar Pulau Kabaena.

Cukup mudah mencapai Kabaena. Dari Kota Kendari dan Kota Baubau, Kabaena dicapai melalui darat sebelum menumpang jet-foil atau pelra. Sedangkan dari Bulukumba (Sulawesi Selatan) menggunakan feri via Tanjung Bira. Pun mudah dicapai menggunakan yacht (kapal layar tiang tinggi) atau kapal pesiar yang berlabuh di perairan bagian selatan. Jika kelak resmi sebagai kabupaten, sebuah bandara akan dibangun di utara pulau.

Kurang dari 25 menit, kami tiba di Desa Tangkeno. Kemarau panjang tahun ini mengubah wajah Tangkeno yang hijau menjadi kemerahan dan kering. Angin menerbangkan debu tanah merah ke mana-mana. Suhu naik 34-35 derajat Celsius pada siang hari dan secara ekstrem turun hingga 15 derajat Celsius menjelang sore hingga malam. Kondisi kontras justru tampak di dua desa sebelumnya, Tirongkotua dan Rahadopi, yang dibalut hijau hutan subtropis serta tajuk-tajuk pohon cengkeh.

Di ketinggian Tangkeno, rata-rata kecepatan angin 2 knot dan uniknya mampu menghalau rasa panas di kulit. Kami tak berkeringat saat berada di plaza Tangkeno, di tengah siraman cahaya matahari siang hari. Percayalah, berjalan di plaza Tangkeno pada musim kemarau laksana menapaki separuh jalan menuju matahari.

Kabaena dan sebelas pulau besar-kecil yang mengepungnya bersiap menjadi kabupaten baru, terpisah dari Kabupaten Bombana. Jarak administrasi, luas wilayah, dan kecemasan akibat laju deforestasi karena operasi pertambangan menjadi penyebab utama. Kenyataan itu membuat warga lokal kecewa dan Kedatuan Kabaena marah besar.

"Ada kerapatan adat sebelum penyambutan," Darman berbisik. Baiklah, itu tak ada di run-down acara. Darman menyiapkan kamera dan peralatan rekam. Saya berinteraksi dengan beberapa tokoh adat di sisi Baruga Utama. Petugas penyambut berpakaian adat dan para pementas gelisah karena udara panas. Sebagian sibuk merapikan kostum yang disergap angin.

Darman berlari ke arah Baruga Utama saat orang-orang bergerak ke arah yang sama untuk menyimak sambutan dari Mokole Kedatuan Kabaena. Pada akhir sambutan Mokole, kerapatan adat dimulai dan dihadiri para bonto (pemangku adat), Mokole Kedatuan Keuwia, dan kerabat Kedatuan Lembopari. Kerapatan adat menyetujui acara itu, sekaligus mengundang Bupati Bombana, para peserta Sail Indonesia 2015, dan utusan dari sejumlah kerajaan tetangga (Bone, Wuna, dan Tolaki) ke Baruga Utama. Kedatuan Lembopari juga mengirim utusan karena sedang mempersiapkan mohombuni (penobatan) Mokole baru.

Lembopari, Keuwia, dan Kabaena adalah tiga protektorat Kedatuan Bombana lampau. Kedatuan suku Moronene ini dipecah kepada tiga ahli waris pada masa pemerintahan Nungkulangi (Mokole ke-III Bombana). Dendaengi, Mokole ke-I Bombana, adalah adik Sawerigading, tokoh poros dalam epos La Galigo. Menurut etnolog Dinah Bergink (Belanda), dan Tengku Solichin (Johor), eksistensi suku Moronene dimulai pada sekitar abad ke-5 dan ke-6 Masehi, tapi jejak suku bangsa proto Melayu ini ditemukan melalui hubungan monarkisme dengan Kedatuan Luwu (Sulawesi Selatan) dan moyang mereka di Yunan Selatan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Demi festival ini Darman rela mengulur waktu penelitian gelar masternya. Bujukan saya ampuh membuatnya meninggalkan lokasi riset. Tahun lalu ia kecewa karena festival dibatalkan saat air Sungai Lakambula membanjiri empat desa di poros utama ke lokasi festival.

Di sisi selatan plaza Tangkeno yang luas itu, tampak sepuluh perempuan bersiap. Di genggaman lima penarinya ada parang nan tajam. Kesepuluh perempuan ini akan menarikan Lumense, tarian tradisi perempuan Kabaena. Lima perempuan berparang tajam itu bergerak cepat saling mengitari dengan penari lainnya. Rampak gerak dalam formasi yang kerap berubah cepat sanggup membuat merinding. Menjelang akhir tarian, mereka menebas sebatang pohon pisang sebagai simbol kekuatan dan pengorbanan. Intensitas gerakan Lumense sedikit menurun saat parang disarungkan dan sepuluh penari melakukan Lulo asli. Lulo asli Kabaena punya 21 varian tarian dengan ritme tabuhan gendang yang berbeda. Namun sejarah tari Lumense memang mengerikan.

Suara musik mengalihkan pandangan semua orang. Kabaena Campo Tangkeno dinyanyikan tujuh biduan dengan iringan alat musik perkusi tradisional, ore'ore. Ketujuh penyanyi memegang alat musik bambu monotonik pelengkap irama ore'ore. Berikutnya, orkestra musik bambu mengalun di depan Baruga Utama, oleh 30 siswa SDN 1 Tirongkotua yang dipandu konduktor. Pertunjukan itu menarik perhatian para tamu asing. Mereka meminta agar orkestra itu diulang dua kali.

Agnes menyempatkan diri menjajal nada ore'ore. Patrick dan istrinya menyapa para siswa orkestra musik bambu dan membagikan flute kepada mereka. Wajah semua orang puas sekali. Gerah mencapai plaza Tangkeno dalam perjalanan ini terbayar dengan apa yang kami saksikan.

Pukul 12 siang, para pemangku adat mengajak tamu ke bawah Laica Ngkoa (rumah adat) Kabaena. Kami dijamu makanan tradisional. Suguhan ikan bakar dan kacang merah bersantan membuat Darman tergila-gila. Ia tambah dua kali.

Seusai jamuan makan, pembukaan festival dilanjutkan tari Lulo-Alu yang eksotik dan ditutup drama-tari kolosal tentang kisah Ratu Indaulu. Mengisahkan fragmen pelayaran Ratu Indaulu dari Tanah Besar menuju Kabaena, menempati Goa Batuburi, hingga istana kerajaan selesai didirikan di Tangkeno. Sendratari berlangsung 12 menit.

Pementasan seni malam harilah yang paling ditunggu. Warga dan sekolah se-Pulau Kabaena berpartisipasi dalam berbagai lomba selama festival: tari tradisi, permainan, hingga sastra lisan Tumburi'Ou (hikayat/dongeng). Festival tahun depan akan menambah cabang sastra lisan: Kada (epos) dan Mo'ohohi (syair). Itu tiga dari lima sastra lisan Kabaena, selain Ka'Olivi (nasihat/amanah) dan Mo'odulele (syair perkabaran).

Kami tak lagi menunggu penutupan festival karena Darman harus kembali ke lokasi risetnya dan saya ditunggu banyak tugas. Kabaena selalu saja memancarkan magisme tradisi yang berkelindan dalam eksotisme alamnya. Suatu keindahan puitik yang memanggil-manggil.

TIM TEMPO

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Teluk Kendari Akan Dikembangkan Seperti Kawasan Wisata Ancol Jakarta

7 Februari 2023

Anjungan Teluk Kendari. ANTARA/La Ode Muh Deden Saputra.
Teluk Kendari Akan Dikembangkan Seperti Kawasan Wisata Ancol Jakarta

Langkah pengembangan Teluk Kendari itu merupakan bagian dari rencana kegiatan strategis mengenai penanganan Teluk Kendari.


Hari Nusantara 2022, Mewujudkan Ekonomi Biru untuk Indonesia Lebih Kuat

13 Desember 2022

Peringatan Hari Nusantara 2022 di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, pada 13 Desember 2022. Dok. Istimewa
Hari Nusantara 2022, Mewujudkan Ekonomi Biru untuk Indonesia Lebih Kuat

Hari Nusantara 2022 bertema "Penguatan Ekonomi Maritim Melalui Kolaborasi Investasi Berkelanjutan untuk Indonesia Bangkit Lebih Kuat" dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sebagai ketua pelaksana. Acara ini berlangsung pada 10-14 Desember 2022 di Wakatobi, Sulawesi Tenggara.


Potensi Wisata Bendungan Ladongi yang Diresmikan Jokowi, Bisa Main Perahu Naga

29 Desember 2021

Pemandangan Bendungan Ladongi yang telah diresmikan Presiden Joko Widodo di Kabupaten Kolaka Timur, Provinsi Sulawesi Tenggara, Selasa, 28 Desember 2021. Bendungan itu dibangun untuk mengairi sawah-sawah di beberapa kabupaten. ANTARA FOTO/Jojon
Potensi Wisata Bendungan Ladongi yang Diresmikan Jokowi, Bisa Main Perahu Naga

Bendungan Ladongi berkapasitas 45,9 juta meter kubik dengan luas lahan 222 hektare.


Pesona Pasir Timbul di Buton Tengah yang Raih Penghargaan Destinasi Terpopuler

25 Mei 2021

Wisata Pasir Timbul Bone Labunta di Desa Tanailandu Kecamatan Mawasangka Kabupaten Buton Tengah (Buteng), merupakan salah satu wisata vavorit di daerah itu dan kini masuk juara tiga pada ajang Anugerah Pesona Indonesia (API) award 2020. (Foto Antara/HO-Dinas Pariwisata Buton Tengah)
Pesona Pasir Timbul di Buton Tengah yang Raih Penghargaan Destinasi Terpopuler

Wisata pasir timbul itu merupakan semacam daratan yang timbul di tengah laut.


50 Homestay Dibangun di Pulau Labengki Sulawesi Tenggara

25 April 2018

Homestay Balkondes binaan PT TWC di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. (Foto: ANTARA/Anis Efizuddin)
50 Homestay Dibangun di Pulau Labengki Sulawesi Tenggara

Pemerintah Kabupaten Konawe Utara bekerja sama dengan Tentara Nasional Indonesia membangun 50 homestay di Pulau Labengki.


Dengan Aplikasi Marina Buddies, Turis Diajak Merawat Wakatobi

12 April 2017

Seorang penyelam menikmatik terumbu karang bawah laut di salah satu spot Wakatobi Dive Trip, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, 7 Agustus 2015. Di dasar laut Wakatobi ditemukan lebih dari 112 jenis karang dari 13 famili, dan 93 jenis ikan laut. TEMPO/Iqbal Lubis
Dengan Aplikasi Marina Buddies, Turis Diajak Merawat Wakatobi

WWF-Indonesia mengajak pelaku sektor pariwisata turut aktif mengawasi wilayah konservasi perairan Wakatobi dengan aplikasi Marine Buddies.


Dengan Pancing Kedo-Kedo, Suku Bajo Menjaga Kelestarian Laut

11 April 2017

Seorang warga menggunakan perahu Jollloro di Pualu Jinato, Kawasan Taman Nasional Taka Bonerate, Selayar, Sulsel, 27 Oktober 2014. Penduduk di daerah tersebut dari tiga kelompok etnik yaitu suku Bajo, Bugis dan Buton. TEMPO/Iqbal Lubis
Dengan Pancing Kedo-Kedo, Suku Bajo Menjaga Kelestarian Laut

Nelayan Suku Bajo di Desa Mola, Kecamatan Wangi-wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, tetap menggunakan kedo-kedo.


Prancis akan Bangun Akuarium Raksasa di Teluk Kendari

31 Maret 2017

Petugas kebersihan membersihkan kaca akuarium raksasa di Sea world Ancol, Jakarta, 1 Oktober 2014. Sea world terpaksa tutup karena masih terjadi sengketa kontrak perjanjian antara PT Pembangunan Jaya Ancol dan PT Sea World Indonesia. Tempo/M IQBAL ICHSAN
Prancis akan Bangun Akuarium Raksasa di Teluk Kendari

Prancis melalui Pemerintah Kota La Rochelle membantu pemerintah Kota Kendari membangun akuarium raksasa di kawasan Teluk Kendari.


Dibuka, Feri Rute Baru di Wakatobi  

27 Februari 2017

Kapal Menami milikThe Nature Conservancy dan World Wildlife Fund  membuang sauh dekat pulau Hoga, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, (12/4). TEMPO/Rully Kesuma
Dibuka, Feri Rute Baru di Wakatobi  

Kementerian Perhubungan berencana membuka rute baru kapal feri lintas Wanci-Kaledupa-Tomia-Binongko, Kabupaten Wakatobi.


Ada Wahana Wisata Di Kompleks Pemrosesan Sampah

2 Januari 2017

Anak-anak menjajal permainan Flying Fox di Hutan Pinus puncak Malinio, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, 6 Mei 2016. Permainan ini dapat dinikmati wisatawan dengan membayar Rp 25.000 untuk sekali bermain. TEMPO/Iqbal Lubis
Ada Wahana Wisata Di Kompleks Pemrosesan Sampah

Untuk mengubah stigma bahwa TPA sampah itu selalu identik dengan
kotor, busuk, dan lain sebagainya.