TEMPO.CO, Jakarta - Pilar-pilar batu karst atau batu kapur menjulang seperti ditanam di antara kebun dan sawah-sawah yang padinya tengah menguning. Ribuan batu karst beraneka bentuk itu bak diukir sebagai sebuah mahakarya Sang Pencipta.
Panorama itu mengingatkan landskap serupa di Vietnam atau China. Ternyata, Indonesia memiliki pesona hutan batu karst yang jauh lebih unik dan menarik untuk dinikmati.
Hutan batu karst itu berada di Rammang-Rammang, idi gugusan pegunungan kapur di Kabupaten Maros hingga Pangkep, Sulawesi Selatan. Tepatnya berada di Desa Salenrang, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, yang berjarak sekitar 40 Kilometer dari Makassar.
Sejumlah literatur menyebutkan Pegunungan Karst di Maros-Pangkep itu adalah yang terluas kedua dunia setelah China. Bahkan, ada pula yang menyebut terluas dan terbesar dunia karena pegunungan karst di China telah berkurang akibat eksploitasi dan penambangan.
Literatur lain menyebut taman Hutan Batu Kapur Rammang-Rammang ini hanya satu di Indonesia dan terluas ketiga di dunia, setelah yang pertama adalah Taman Hutan Batu Tsingy di Madagaskar dan yang kedua adalah Taman Hutan Batu Shilin yang ada di China.
Terlepas dari soal peringkat, kawasan hutan batu karst Rammang-Rammang memang unik dan eksotik. Bebatuan berwarna hitam dan kelabu tersebar di areal seluas 43.750 hektare di dua kabupaten.
1. Negeri Bertirai Kabut
Rammang-Rammang, menjadi salah satu pintu masuk untuk menikmati kawasan hutan batu karst itu.
Tampak gugusan pilar-pilar batu menjulang di areal persawahan penduduk sebelum memasuki Dusun Rammang-Rammang.
Arti kata Rammang-Rammang sendiri berasal dari bahasa daerah setempat yaitu Bahasa Makassar, di mana kata rammang bisa diartikan sebagai awan atau kabut.
Dapat disimpulkan bahwa arti kata rammang-rammang adalah sekumpulan awan atau kabut.
Menurut cerita penduduk setempat, wilayah ini diberi nama Rammang-Rammang karena awan atau kabut yang selalu turun terutama di pagi hari atau ketika hujan.
Bila diibaratkan, Rammang Rammang adalah negeri yang selalu bertirai kabut di pagi hari.
2. Sensasi Katinting Oleng
Tak ada tanda-tanda hutan batu itu sebagai kawasan wisata. Jalanan berkelok di antara sawah yang hampir panen itu menuntun wisatawan untuk masuk ke dermaga kecil di bawah sebuah jembatan di Rammang-Rammang.
Menikmati pemandangan hutan batu di Rammang-Rammang dapat dilakukan dari dermaga kecil itu. Penduduk setempat menyediakan transportasi berupa perahu mini berkapasitas 5 orang untuk menelusuri sungai di antara bebatuan karst di Rammang-Rammang.
Sungai Pute yang dangkal dan berair cukup jernih itu menjadi rute satu-satunya menuju sebuah kampung di tengah bukit kapur. Pengunjung dapat merogoh kocek sekitar Rp150.000-Rp200.000 per perahu untuk menuju Kampung Berua.
Saat menaiki perahu, warga menyebutnya katinting, pemandangan di kiri dan kanan sungai ditumbuhi pohon lontar di sela-sela batu-batu karst yang menjulang.
Kelokan air sungai yang memiliki kedalaman hingga 2 meter itu menambah suasana seru terutama saat katinting oleng.
3. Kampung Mini Berua
Membutuhkan waktu sekitar 15 menit menyusuri Sungai Pute menaiki ketinting yang digerakkan oleh mesin berbahan bakar bensin.
Menjelang tiba di Kampung Berua, air sungai seperti menembus goa batu karst yang gelap.
Batu-batu karst di goa Sungai Pute itu berbentuk lubang-lubang yang tersusun rapi.
Unik, karena batu-batu itu berlekuk membentuk sebuah ruang untuk aliran air yang dapat dilalui menggunakan perahu katinting.
Keluar dari goa, katinting langsung berlabuh di dermaga kecil yang terbuat dari kayu.
Dermaga itu merupakan akses sebuah kampung di tengah bukit kapur, Kampung Berua.
Kampung berpenduduk sekitar 15 kepala keluarga itu istimewa.
Kampung ini ibarat sebuah mangkuk dengan dasar berupa persawahan dan kolam ikan sekaligus rumah-rumah panggung milik penduduk khas Suku Bugis-Makassar.