Imbas negatifnya mulai dirasakan saat satu persatu berbagai jenis ikan sudah mulai sulit ditemui di Sungai Hitam. Bahkan satu jenis udang galah sebesaran telapak orang dewasa sudah tidak ada lagi di perairan air payau ini.
“Zaman dahulu ada udang galah besar besar. Satu kilogram hanya perlu 3 hingga 4 ekor udang galah saja,” ungkap Amir.
Kondisi lingkungan Sungai Hitam Samboja sudah menjadi perhatian LSM Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur. Dinamisator, Merah Johansyah, mengatakan masyarakat Samboja saat ini harus membayar ongkos kerusakan lingkungan akibat obral izin pertambangan batubara di Kutai Kartanegara di masa masa lampau.
“Kondisi Sungai Hitam menjadi ongkos kerusakan lingkungan akibat izin tambang,” paparnya.
Indikatornya adalah perubahan warna aliran Sungai Hitam akibat ahli fungsi lahan di kawasan hulu sungai. Jatam mencatat kawasan Samboja adalah kecamatan di Kutai Kartanegara yang paling jor joran dalam penerbitan izin usaha pertambangan.
“Total jumlah izin usaha pertambangan di Samboja adalah 91 izin dari total 600 izin di seluruh Kutai Kartanegara,” ungkap Merah.
Alih fungsi lahan di Samboja terutama didominasi keberadaan perusahaan pertambangan batubara. Meskipun mayoritas perusahaan tambang batubara sudah tutup, menurut Merah dampak kerusakan lingkungannya akan masih terasa hingga puluhan tahun.
“Karena bekas galian tambangnya masih ada hingga kini menyisakan lubang lubang raksasa di Samboja,” ungkapnya.
Staf Humas Kabupaten Kutai Kartanegara, Ariantyo mengatakan sudah ada upaya perlindungan lingkungan di area Sungai Hitam dengan penetapan kawasan itu sebagai area konservasi. Pemerintah daerah juga rajin mewanti wanti perusahaan pertambangan agar memperhatikan permasalahan lingkungan di wilayahnya.
SG WIBISONO