Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Menggapai Kaldera Tambora  

Editor

Nurdin Kalim

image-gnews
Seorang pendaki melihat kawah dari puncak Gunung Tambora, Bima, NTB, 12 Maret 2015. TEMPO/M IQBAL ICHSAN
Seorang pendaki melihat kawah dari puncak Gunung Tambora, Bima, NTB, 12 Maret 2015. TEMPO/M IQBAL ICHSAN
Iklan

TEMPO.CO, Sumbawa - 200 tahun silam, Gunung Tambora di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, meletus begitu dahsyatnya. Letusan yang terjadi pada April 1815 itu telah mengguncang dunia, memangkas puncak Tambora yang berketinggian sekitar 4.200 meter di atas permukaan laut (mdpl) hingga tinggal separuhnya. Letusan itu juga telah membentuk kaldera raksasa. Awal Maret 2015, Tempo menjelajahi gunung yang menyimpan pesona alam nan menawan itu dan berbagi pengalaman khusus buat Anda.


                                                  *****


Raungan suara ojek yang mengantar kami memecah suasana di Dusun Pancasila, Desa Tambora, Kecamatan Pekat, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, Rabu awal Maret lalu. Siang itu, kami bertolak dari dusun yang berada di ketinggian 600 meter di atas permukaan laut (mdpl) tersebut untuk memulai pendakian ke puncak Tambora. Ojek membawa kami menuju ke pintu hutan, sebagai titik awal pendakian, yang berada di ketinggian 670 mdpl.

Sepanjang perjalanan, antara perkampungan dan batas hutan lindung, kami melintasi jalan tanah yang becek karena diguyur hujan deras sejak pagi. Di kiri-kanan jalan, tumbuh pohon-pohon kopi. Dusun Pancasila memang dikenal sebagai penghasil kopi Tambora. Setengah jam kemudian, kami tiba di pintu hutan.

Di pintu masuk menuju puncak Tambora itu hanya terdapat papan berbentuk panah dengan tulisan “ke puncak”, yang menempel pada pohon besar. Tak ada tanda-tanda lain, seperti gapura atau sejenisnya, yang menunjukkan bahwa tempat itu sebagai pintu gerbang pendakian gunung Tambora. Setelah menata barang bawaaan dan perbekalan, kami berempat – saya, fotografer Iqbal Ichsan, pemandu Peqi, dan porter Jackie – bersiap untuk melakukan pendakian.

Langit masih menyisakan mendung ketika kami memulai pendakian. Rencananya, kami akan berjalan menuju Pos I yang berada di ketinggian 1.200 mdpl. Jalur yang kami lalui cukup landai dan hanya sesekali menanjak. Pohon-pohon dengan daun lebat memagari di kiri-kanan rute setapak yang kami lewati. Di beberapa lokasi, dedaunan lebat itu menjuntai menghalangi jalur, sehingga kami terpaksa menebasnya dengan golok agar bisa melintas.

Setelah sekitar 45 menit berjalan, akhirnya kami tiba di sebuah berukuran sekitar 2x3 meter, beratapkan genteng dengan 4 tiang kayu besar. Pondok ini merupakan pos bayangan menuju Pos I. Dari sana kami melanjutkan perjalanan. Medan yang kami lewati mulai menanjak dan terasa cukup berat. Untungnya, kami terhibur dengan suara burung-burung yang bersahutan. Sesekali, lamat-lamat ayam hutan terdengar berkokok dari balik rimbunnya hutan. Semua itu terdengar bagai alunan musik alam yang mengasyikkan.

Semangat kami pun terpompa. Hingga akhirnya kami tiba di Pos I, berupa pondok kayu mirip pos bayangan sebelumnya. Hanya, di pondok itu banyak coretan yang membuat pos tersebut tampak kotor dan gak enak dilihat. Di pos itu tersedia air yang mengalir melalui pipa. Air itu jernih dan segar itu bisa langsung diminum. Sayangnya, di pos tersebut tak disediakan fasilitas mandi cuci kakus (MCK).

Tepat Pukul 15.30 WITA, kami bergegas melanjutkan perjalanan agar tak kemalaman tiba di Pos II di ketinggian 1.280 mdpl.  “Kira-kira 2,5 jam kita berjalanan menuju Pos II,” kata Jackie, porter andal dari Dusun Pancasila. “Apalagi jalur yang akan kita lewati lumayan berat, karena banyak pohon tumbang,” ujar pria yang juga anggota Kapata, kelompok pencinta alam setempat.

Benar saja. Perjalanan menuju ke Pos II terasa lebih berat. Selain menempuh jalur yang kian menanjak, licin, dan becek, kami dihadang semak belukar serta puluhan pohon kalanggo (Duabanga moluccana) yang tumbang. Pohon kalanggo yang merintangi jalan itu berdiameter sekitar 160 sentimeter dan panjang mencapai 15 meteran. Kami harus meloncatinya. Perjalanan kian tersendat karena kami mulai diserang kawanan pacet. Beberapa kali kami harus berhenti untuk membuang hewan penghisap darah itu, yang menempel di kaki dan bagian tubuh lainnya.

Hari mulai meremang dan rintik hujan berjatuhan ketika kami tiba di pondok Pos II. Kami melepas ransel di pundak dan merebahkan badan di pondok yang dekat dengan sungai kecil itu. Karena hujan turun dengan derasnya dan hari makin gelap, kami memutuskan untuk bermalam di pos itu. “Gak perlu pasang tenda, cukup kita tidur di pos ini saja,” ujar Jackie. Setelah makan dengan menu nasi, ikan sarden, sosis, dan sayuran, kami pun istirahat melewati malam di pondok berukuran 2x2 meter itu.


                                                      *****

Kami dibangunkan oleh celoteh burung-burung yang menyambut matahari pagi. Setelah sarapan dan menata barang, tepat Pukul 08.00 WITA kami melanjutkan perjalanan menuju ke Pos III. Dalam perjalanan itu kami menemui rintangan baru yang tak kalah berat. Kami harus berjuang menghidari jelatang. Ini tanaman yang batang dan daunnya berbisa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Meski sudah berhati-hati, kami tetap tak kuasa menghindari karena tumbuhan itu sangat banyak dan sebagian besar menutupi jalur kami. Rasanya seperti tersengat lebah ketika bisa jelatang itu menyentuh kulit. Saya merasakan gatal dan panas. Sungguh menyiksa.

Perjalanan menuju Pos III cukup panjang, sekitar 4 jam, dan memaksa kami untuk rihat di tengah jalan: minum dan makan camilan. Di tengah perjalanan kami bertemu dengan para pemburu yang membawa dua ekor anjing. Empat pemburu itu juga membawa karung berisi daging rusa hasil buruan mereka. Sambil melepas lelah, kami berbincang dengan mereka, dari kegiatan perburuan hingga puncak Tambora yang sedikit lagi sudah bisa kami lihat dari kejauhan.

Tepat Pukul 11.30 WITA, kami tiba di Pos III, lebih cepat sekitar setengah jam dari perkiraan. Di pos itu kami istirahat dan membuka tenda sebagai posko. Kami meninggalkan sebagian barang-barang bawaan di pos itu, karena kami tak akan membawa beban yang banyak untuk melanjutkan perjalanan ke puncak. Jackie kami percayakan untuk menjaga barang-barang yang kami tinggalkan di Pos III.

Untuk menggapai puncak Tambora, kami harus melewati dua pos lagi, Pos IV dan V. Perjalanan menuju Pos IV tak terlalu lama, sekitar satu jam. Kami melewati jalan berbukit yang dipenuhi semak-semak. Berbeda dengan pos-pos sebelumnya yang kami singgahi, di Pos IV tak ada pondok sebagai penanda pos. Di sana hanya terdapat tulisan “pos empat” di sebuah seng kecil yang menempel pada sebatang pohon.

Puncak Tambora mulai terlihat jelas ketika kami tiba di Pos V, yang berada di ketinggian 2.080 mdpl, pada Pukul 14.30 WITA. Setelah rihat sejenak, kami kembali melanjutkan perjalanan menuju puncak. Sepanjang perjalanan kami melewati bukit dengan pohon-pohonnya yang sebagian telah meranggas. Suhu berkisar 10 derajat Celcius. Angin bertiup kencang dan sesekali menggoyang badan kami yang sudah agak lemas karena medan semakin terjal dipenuhi pasir serta bebatuan.

Setelah menempuh perjalanan sekitar tiga jam dari Pos V, akhirnya kami menggapai puncak Tambora tepat Pukul 17.00 WITA. Dari puncak Tambora pada ketinggian 2.851 mdpl, pemandangan kaldera raksasa terhampar. Hutan cukup lebat dan tebing-tebing raksasa memagari Kaldera Tambora, yang luasnya sekitar 7 kilometer persegi. Di bawah matahari yang telah condong ke barat dan terhalang kabut tipis, kaldera raksasa Tambora tampak begitu menggetarkan.

AKHYAR M. NUR | M. IQBAL ICHSAN

Tiga Jalur Menuju Kaldera

Puncak Tambora bisa digapai dari tiga rute. Yang pertama, jalur barat melalui Dusun Pancasila, seperti yang kami tempuh pada Maret lalu. Rute yang berada di barat laut gunung Tambora ini menjadi jalur yang umum bagi para pendaki. Meski jalur Pancasila ini lebih panjang, medannya boleh dibilang lebih landai. Jalur pendakian ini merupakan rute yang sepenuhnya ditempuh dengan berjalan kaki.

Hal itu berbeda dengan jalur selatan atau jalur Doroncanga. Jalur dengan pemandangan padang savana menakup sekitar 50 ribu hektare ini bisa dilalui dengan motor trail atau kendaraan off-road seperti jip yang menggunakan penggerak empat roda. Kedua kendaraan itu bisa sampai ke Pos III. Dari pos ini bisa langsung mendaki ke bibir Kaldera Tambora bagian selatan dengan waktu tempuh sekitar dua jam perjalanan. Boleh dibilang, relatif mudah menuju puncak Tambora melalui jalur ini.

Rute yang paling berat dan ekstrem adalah jalur tiga melewati Desa Kawinda Toi. Jalur ini sangat terjal dan penuh penuh jurang. Medannya penuh bebatuan tajam. Bahkan sepanjang jalur ini hingga puncak tak ada air sungai dan pepohonan juga jarang. Karena kondisinya itu, jalur ini jarang dilewati oleh para pendaki pemula.

AKHYAR M. NUR

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Festival Bau Nyale 2023: Malam Puncak Meriah di Pantai Tanjung Aan, Ribuan Warga Ikut Tradisi

11 Februari 2023

Suasana Bau Nyale di Mandalika. Dok. ITDC
Festival Bau Nyale 2023: Malam Puncak Meriah di Pantai Tanjung Aan, Ribuan Warga Ikut Tradisi

Sejak Jumat malam, masyarakat mulai berdatangan ke lokasi pelaksana Festival Bau Nyale di Pantai Tanjung Aan dan Pantai Seger.


Bandara Lombok Sambut Penumpang Perdana 2023 dengan Kalungan Selendang Tenun

1 Januari 2023

Penumpang pertama tiba di Bandara Inernasional Lombok 1 Januari 2023. Dok. AP 1 - Bandara Inrernasional Lombok
Bandara Lombok Sambut Penumpang Perdana 2023 dengan Kalungan Selendang Tenun

Manajemen Bandara Lombok sebelumnya juga mengadakan kegiatan pelepasan penumpang terakhir yang berangkat dari Bandara Lombok.


Melihat Tradisi Empas Menanga Mual di Desa Akar-akar untuk Sambut Musim Tanam

23 Desember 2022

Ritual Empas Menanga di Lombok Utara. Dok. Humas Pemkab Lombok Utara
Melihat Tradisi Empas Menanga Mual di Desa Akar-akar untuk Sambut Musim Tanam

Ritual itu merupakan tradisi adat yang dilakukan warga setempat sejak zaman nenek moyang di desa Akar-akar.


Turis Asing Sebut Desa Sade Lombok Scamming Village, Ini Penjelasan Sandiaga Uno

22 Desember 2022

Desa Wisata Sade. wikipedia.org
Turis Asing Sebut Desa Sade Lombok Scamming Village, Ini Penjelasan Sandiaga Uno

Menurut Sandiaga Uno, pada dasarnya Desa Sade adalah desa yang indah dengan kekuatan budaya dan ekonomi kreatif serta masyarakatnya.


Rangkaian HUT NTB ke-64, Ada Lomba Triathlon ASN Hingga Parade Budaya

12 Desember 2022

Suasana Gelar Budaya di Kabupaten Lombok Utara. Dok. Diskominfotik NTB
Rangkaian HUT NTB ke-64, Ada Lomba Triathlon ASN Hingga Parade Budaya

Beragam acara dilaksanakan untuk memeriahkan HUT NTB ke-64 di kabupaten dan kota di provinsi itu.


Bandara Lombok Kembali Raih Penghargaan Bandara Sehat dari Kemenkes

23 November 2022

Kesibukan Bandara Lombok Selama 9 Bulan pada 2022. Dok. PT Angkasa Pura I Lombok
Bandara Lombok Kembali Raih Penghargaan Bandara Sehat dari Kemenkes

Selain Bandara Lombok, ada lima bandara kelolaan PT Angkasa Pura I lain yang berhasil mendapat predikat Bandar Udara Sehat 2022.


PHRI Bike Tour 2022 Seri Mandalika, Gowes Melintasi Spot Wisata di Lombok

21 November 2022

Acara Gowes PHRI di Sirkuit Mandalika. Dok.ITDC
PHRI Bike Tour 2022 Seri Mandalika, Gowes Melintasi Spot Wisata di Lombok

PHRI Bike Tour didesain sebagai kegiatan sport tourism yang menyenangkan dengan diselingi aneka permainan interaktif.


WSBK Mandalika 2022 Tak Sekadar Balapan, Ikut Promosikan Wisata dan Budaya NTB

14 November 2022

Seniman Gendang Beleq dan tarian daerah NTB gladi bersih di Sirkuit Mandalika pada Sabtu, 12 November 2022. Mereka akan tampil menjelang final race balap motor WSBK Mandalika 2022 pada Minggu, 13 November. FOTO: Dok. MGPA
WSBK Mandalika 2022 Tak Sekadar Balapan, Ikut Promosikan Wisata dan Budaya NTB

Tidak hanya balapan yang memukau pengunjung yang datang, tapi juga beragam budaya Indonesia yang ditampilkan di WSBK Mandalika 2022.


Sebelum Balapan di WSBK 2022, Pembalap Adrian Huertas Nikmati Keindahan Pantai Senggigi

10 November 2022

Pembalap WSBK dari tim Kawasaki Adrian Huertas di Senggigi, 8 November 2022. TEMPO/Supriyantho Khafid
Sebelum Balapan di WSBK 2022, Pembalap Adrian Huertas Nikmati Keindahan Pantai Senggigi

Sebelum hari H WSBK 2022, banyak pembalap yang sudah lebih dulu tiba di Lombok, bahkan lebih dari sepekan sebelumya.


Penonton WSBK Mandalika 2022 Bisa Naik Shuttle Bus dari Dua Lokasi

8 November 2022

WSBK Mandalika. (Foto: MGPA)
Penonton WSBK Mandalika 2022 Bisa Naik Shuttle Bus dari Dua Lokasi

Berbagai persiapan WSBK 2022 terus digeber, termasuk sarana transportasi untuk para penonton.