TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat adat Naga, baik yang tinggal di dalam maupun di luar Kampung Naga (disebut Sanaga), sampai sekarang masih setia menjalankan adat karuhun (leluhur). Salah satunya dengan tetap mempertahankan tata ruang Kampung Naga tersebut. Tata ruang menjadi sarana untuk hidup bersama alam. "Kami tinggal di lereng bukit, tapi tidak pernah kena longsor. Kami tinggal dekat sungai, tapi tidak pernah banjir. Itu karena kami bukan hidup di alam. Kami hidup bersama alam," ujar Udin, warga setempat, seperti ditulis Koran Tempo, Ahad, 28 September 2014.
Kampung Naga terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Jaraknya sekitar 106 kilometer dari Bandung melalui Garut dan berada di jalur lalu lintas utama Priangan. Tugu Kujang Pusaka setinggi kurang-lebih 6 meter menyambut di titik akhir perhentian mobil sebelum masuk kampung.
Empat kali setahun, masyarakat setempat menggelar ritual hajat sasih. Penggelaran ritual itu bertujuan memohon berkah dan keselamatan kepada leluhur Kampung Naga dan ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Esa atas segala nikmat-Nya. Penentuan waktunya berkaitan erat dengan tradisi Islam, yaitu Muharam (26, 27, atau 28), Maulud (12, 13, atau 14), Jumadilakhir (16, 17, atau 18), Syakban (14, 15, atau 16), Syawal (1, 2, atau 3), dan Rayagung/Zulhijah (10, 11, atau 12). Salah satu dari tanggal itu dipilih sebagai pelaksanaan hajat sasih. Tanggal yang dipilih adalah yang tidak bertepatan dengan "hari nyepi" warga Sanaga, yaitu selain Selasa, Rabu, atau Sabtu.
Saat menghelat hajat sasih, pada tengah hari, para pria akan serentak keluar dari tiap rumah. Sebagian dari mereka membungkus diri dengan sarung. Mereka menuju sisi sungai di utara kampung. Mereka berjalan dalam diam, tanpa alas kaki, dan, konon, tanpa celana dalam.Mereka menuju Sungai Ciwulan untuk mandi sebagai pembuka ritual hajat sasih. Di tepi sungai, kuncen akan membuka atau memulai bebersih dengan membagikan leuleueur (pelicin) ke semua peserta ritual. Pelicin dari akar pepohonan itu dipakai sebagai pengganti sabun untuk simbol pembersihan diri: jiwa dan raga.
Setelah sekitar 30 menit, para peserta ritual kembali berjalan dalam diam ke rumah masing-masing. Kuncen, lebe (amil), dan punduh (setingkat ketua rukun tetangga) menuju bumi ageung untuk menyiapkan sesaji dan parakuyan (tempat pembakaran kemenyan). Beberapa saat kemudian, para laki-laki keluar rumah lagi. Mereka semua memakai jubah dan sarung putih, pakaian khas masyarakat Naga. Kepala mereka tertutup totopong (penutup kepala). Dalam hening, mereka berjalan ke masjid. Beberapa dari mereka menyiapkan sapu lidi yang disimpan di langit-langit masjid.
Setelah salat zuhur berjemaah, ritual pamungkas hajat sasih, syukuran, dimulai. Semua peserta ritual duduk mengelilingi boboko. Seorang perempuan sepuh dari bumi ageung, patunggon, membawa kendi yang berisi air dan memberikannya kepada kuncen. Perempuan sepuh lainnya meletakkan tumpeng di tengah-tengah ruangan. (Baca juga: Standardisasi Wisata Syariah Kelar September)
Tumpeng Kampung Naga terdiri atas dua bagian. Bagian luar nasi putih dan bagian dalam nasi kuning. Nasi kuning tidak hanya dicampur ayam, tapi juga ikan asin atau telur. Walau dibuat sejak pagi, bahkan subuh, nasi itu masih hangat. Kehangatan itu mungkin masih ada karena cara memasaknya. Tapi bisa jadi juga karena pancaran aura cara hidup warga adat Naga: bertahan dalam adat dan juga terbuka. (Baca juga: Surakarta Kembangkan Wisata Susur Bengawan Solo)
MONA SYLVIANA (Cerpenis)
Berita terpopuler:
Jalur Trans Sulawesi Mulai Dibangun Tahun Depan
Induk Usaha ANTV Bayarkan Dividen Rp 39,2 Miliar
Kurban, Pemerintah Waspadai Ternak di Sulawesi
Subsidi Kereta Jarak Jauh Masih Dihitung
Menkeu : Pemerintah Tak Wajib Bayar Korban Lapindo