TEMPO.CO, Makassar -Kisah ini bermula ketika Bendurana—yang diperankan Aco Zulsafri—berburu rusa dalam hutan. Saat beristirahat disungai, ia menemukan sehelai rambut yang dihanyutkan air. Seketika Bendurana terpesona dan jatuh cinta, dia lalu bertekad untuk mencari pemilik rambut itu untuk dijadikan istri.
Bersama dua pengikutnya, putra raja Bone ini berkelana dan mengembara, melalui bukit, gunung, laut, dan hutan. Dalam perjalanan, Bendurana mendengar kabar bahwa pemilik rambut itu bernama Londorundun—diperankan oleh Andi Ulfa Wulansari--, gadis yang lahir dan besar di Sesean, Tana Toraja.
Mendengar kabar itu, Bendurana ke Sesean untuk mempersunting Londorundun, kemudian memboyongnya pulang ke negerinya. Dari perkawinan inilah lahir putra yang diberi nama Batara Gowa.
Sajian kisah Londorundun yang skenarionya ditulis sendiri oleh Bahar Merdhu ini dikemas secara jenaka oleh Rombongan Sandiwara Petta Puang. Pertunjukan yang dipadukan dengan seni musik dan tari
dalam Pentas Seni Fort Rotterdam 2013, di Benteng Fort Rotterdam, Jumat malam lalu ini cukup menghibur penonton.
Ada Tari Pa’jonga yang ditampilkan pada saat Bendurana berburu rusa. Tarian ini dibawakan oleh Iron Production. Lalu ada Melletuk Kopi oleh penari Star 33, yang menggambarkan kegiatan memetik kopi gadis-gadis Toraja. Kemudian Sanggar Rama mementaskan tari Marellau Pammase Dewata, tarian etnis Bugis yang mengiringi sesi pelamaran Bendurana kepada Londorundun. Juga ada tari Battinna Lebonna dari Celebes Indonesia.
Suasana panggung semakin riuh oleh permainan rampak gendang dari Sanggar Alam, yang dipimpin langsung oleh maestro gendang Daeng Serang Dakko. Tiap tabuhan gendang membahana memenuhi areal taman Fort Rotterdam.
Pentas Seni Fort Rotterdam ini digelar dua malam berturut-turut. Jika malam pertama penampilan mayoritas bernuansa Toraja, malam kedua ini lebih variatif. Ada suguhan tari Pangadakkang oleh seniman dari Makassar Art. Ada sajian puisi-puisi modern Asia Ramli Prapanca, salah satunya berjudul ‘Kepada Pembunuh Kemerdekaan.’
Selanjutnya ada pertunjukan teater bertajuk ‘Passompe’—bercerita tentang kepiawaian pelaut Bugis-Makassar dalam melakukan pelayaran dan berniaga. Pertunjukan teater kali ini dikemas secara klasik modern, dengan dialog-dialog yang dikemas secara jenaka tanpa menghilangkan unsur muatan lokalnya.
Teater Passompe yang dimainkan Sanggar Griya Seni Barombong (Grisbon) pernah ditampilkan pada Festival Nasional Teater Remaja di Bandung. Di Kota Kembang ini, mereka berhasil menjadi penyaji terbaik ketiga, sutradara terbaik, dan aktor utama terbaik.
Sanggar Seni Kartika mempersembahkan tarian yang juga berjudul ‘Passompe’. Ada juga penampilan JK Etnika yang menyuguhkan mulai dari musik tradisional hingga modern. “Ini memang ajang bagi para seniman untuk menyalurkan kreatifitasnya,” kata Jamal Kalam, ketua panitia Pentas Seni Fort Rotterdam.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Makassar, Rusmayani Madjid mengatakan, kegiatan tahunan ini sudah memasuki tahun kedua, dimana tujuannya untuk memberikan ruang kepada seniman-seniman kota Makassar untuk mengekspresikan bakat seninya. “Ini juga menjadi bagian dari cara untuk melestarikan budaya Sulawesi Selatan dan memperkenalkannya ke generasi muda,” katanya.
REZKI ALVIONITASARI