TEMPO.CO, Jakarta - Hadi Lingga Wijaya menyiramkan saus kacang ke tumpukan irisan lontong dan rebusan sayur, juga telur ayam. Kemudian ditutupnya dengan bawang goreng, emping dan kerupuk udang. Terakhir, dipindahkan sajian itu ke atas nampan kayu. "Yuli, ini untuk meja delapan," kata Hadi ke salah satu karyawannya. Kemudian, tangan gemuknya kembali sibuk memainkan pisau kecil, dan mulai memotong lagi telur dan tahu menjadi dua.
Sudah 43 tahun, sejak 1970, Hadi berdiri di depan etalase kaca, membantu meracik "Gado-gado Bon-Bin" usaha ibunya. Gayanya cuek, dua kancing baju atasnya dibuka sehingga tampak dadanya yang gempal. Tingginya mungkin 165 senti meter. Terlihat, sesekali ia membetulkan kacamatanya, sesekali juga menarik nafas. "Kadang harus duduk biar gak capek," kata pria berusia 60 tahun ini tersenyum, kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Usaha ini memang bukan berawal dari tangannya. Melainkan Lannny Wijaya, sang ibu, 83 tahun, yang pertama kali menjual es cendol dan gado-gado pada 1960 untuk pengunjung kebon binatang yang dulu ada di Taman Ismail Marzuki. Dinamai Bon-Bin bukan karena lokasinya di kebun binatang. Namun karena nama jalan di depan warung gado-gado ini dulunya adalah Jalan Bonbin III. Kini namanya Jalan Cikini IV Nomor 5.
Dahulu memang terdapat Kebun Binatang Cikini--sekarang menjadi Taman Ismail Marzuki (TIM)--yang dibangun Belanda sejak 1864. Tapi, pertengahan 1960, kebon binatangnya pindah ke Ragunan.
Menurut Hadi, tidak banyak yang berubah dari warungnya. Hanya, dahulu, temboknya terbuat dari lempengan bambu yang besar. Kini sudah beton. Tapi, kata dia, luas warungnya tidak berubah sama sekali, sekitar 5x8 meter. Sementara 15 meter ke belakang dan lantai dua, digunakan sebagai tempat tinggal dia dan keluarganya. Sejak 1942 keluarganya sudah tinggal di situ.
Perubahan lainnya adalah pemakaian pendingin ruangan yang dimulai pada 1978. Meski ada pendingin ruangan, dahulu masih bisa pengunjung merokok. Namun sejak tahun lalu, beberapa pengunjung yang berprofesi dokter protes. Sehingga Hadi dan ibunya memutuskan melarang pengunjung membakar tembakau di dalam. "Lihat saja atap eternitnya, jadi kuning-kuning bekas rokok," kata ayah beranak dua ini.
Banyak yang menjadi pelanggan setia gado-gado ini. Menurut Hadi, salah satunya adalah bekas Menteri Pemuda dan Olahraga, Andi Mallarangeng. Sehari setelah mengundurkan diri dari kursi menteri, kata Hadi, Andi makan siang bersama di warungnya bersama adiknya, Andi Zulkarnain Mallarangeng (Choel) di tempatnya. Ketika aktif mengajar, kata dia, Andi memang doyan gado-gado di sini.
Abdurrahman Wahid alias Gus Dur juga kesemsem sama gado-gado siram ala Oma Lanny ini. Menurut Hadi, Gus Dur termasuk pelanggan loyal sejak masih aktif di Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Bahkan, suatu kali, ketika baru keluar dari rumah sakit, Gus Dur menyuruh ajudannya memesan dua porsi gado-gado di warung ini. "Dia memang edan," katanya, lantas tertawa.
Ada juga Taufik Kiemas, suami dari Presiden RI ke 5, Megawati Soekarnoputri. Bahkan, menurut Hadi, ketika terpilih menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 2009, Taufik hendak merayakannya di sini. Sayang tidak terealisasi. Karena saat itu tamu sedang penuh sesak. Malahan Taufik tidak mendapat tempat duduk.
Yang paling diingat Hadi adalah jurnalis senior Tempo, yaitu Fikri Jufri. Hadi, waktu itu masih kecil, ingat betul sosok Fikri yang kurus, saat makan gado-gado di tempatnya dulu. Karena itu ia pembaca setia Tempo sampai tahun 1994. "Habis diberedel harganya mahal. Dulu cuma Rp 3000-an," kata Hadi yang tidak lulus sekolah dasar.
Menurut Hadi, konsistensi rasa menjadi rahasia usahanya berumur panjang. Hadi tak menyerahkan urusan pengolahan masakannya kepada orang lain. Ia sendiri yang meracik bumbu kacang, merebus sayuran, termasuk membuat lontong. Prinsip membuat lontong enak, kata dia adalah merebusnya dengan lama.
Kemudian, kata dia, yang membuat gado-gadonya istimewa lagi adalah kacang tanah yang disangrai, bukan digoreng. "Kulit kacangnya dibuang, jadi beda rasanya di mulut," kata pria yang bercita-cita jadi pelaut ini. Nah, resep itu yang membuat tekstur bumbu kacangnya lembut. Dalam sehari, produksi saus kacangnya bisa menghabiskan 25 kilo kacang tanah.
Rahasia lainnya adalah paduan bumbu asinan (cuka) dan sambal kacang. Sehingga ada rasa manis dan sebersit rasa asam di gado-gadonya. Semua bahan ia beli di pasar Rumput, Manggarai. Jumlah pegawainya tidak banyak, hanya tiga orang. Itu juga masih saudara dekat. Hadi dan karyawannya mulai bekerja sejak pukul 4 pagi. "Dulu saat masih hidup, ayah saya yang belanja," ujarnya.
Sepiring gado-gado dengan lontong dijualnya seharga Rp 25 ribu. Kalau pakai nasi tambah Rp 2 ribu lagi.
Sampai kini, ia dan ibunya belum berpikir untuk membuka cabang. Meski banyak tawaran, Hadi khawatir, jika rasa gado-gado yang di cabang tidak sama dengan yang dia buat. Tapi, keluarganya percaya sama satu orang, yaitu pakar kuliner Bondan Winarno. "Di kopitiamnya ada menu gado-gado milik kami," ujar Hadi.
HERU TRIYONO