TEMPO.CO, Jakarta - Namanya Gulai Kambing Bustaman. Jangan kaget. Di Semarang, Gulai Kambing Bustaman sudah menjadi nama generik. Di tiap sudut kota mudah ditemui penjual gulai kambing menggunakan label "Gulai Kambing Bustaman". Nama Bustaman, merujuk salah satu kampung di Jalan MT Haryono Semarang yang terkenal dengan usaha pemotongan kambing. Beberapa warganya bekerja sebagai pedagang gulai kambing keliling.
Meski sama-sama menggunakan label Gulai Kambing Bustaman, kedai gulai kambing di belakang Gereja Blenduk di kawasan Kota Lama Semarang ini lain dengan yang lain. Rasanya lebih lezat dan segar. Lezat karena bumbu rempahnya terasa, segar karena tak ada unsur santan dalam kuahnya. Berbeda dengan gulai lain yang justru menonjol rasa santannya.
Adalah Garbin, 63 tahun, sang pemilik kedai. Pria asal Kudus yang boro di Kampung Bustaman ini menyatakan cita rasa gulainya berani diadu dengan Gulai Kambing Bustaman yang bertebaran di Kota Semarang. Garbin tidak sedang jumawa. Namun, menurut pengakuan para pelanggan, gulainya memang beda dengan yang lain. "Tentu pelanggan kami sudah melakukan perbandingan," ujarnya kepada Tempo, Rabu, 20 Maret 2013. Sebelumnya, Tempo juga sudah melakukan perbandingan. Memang, gulai racikan Garbin lebih lezat dan segar. Orang Semarang bilang, tidak nek dan mblengeri (tidak gampang bikin kenyang).
Garbin yang sudah 40 tahun berjualan di belakang Gereja Blenduk meneruskan usaha ayahnya, Sumitro. Menurut dia, tak ada resep khusus pada menu gulainya. Sama dengan gulai pada umumnya, yakni menonjolkan rempah-rempah seperti serai, cengkih, kapulaga, kayu manis, lengkuas, daun salam, bawang merah, bawang putih, kemiri, adas, jinten dan sebagainya. Antara bumbu rempah dan kuah harus proporsional. "Jangan pelit dalam meracik bumbu," kata Garbin.
Oh ya, Gulai Bustaman juga menggunakan kelapa. Hanya saja, parutan kelapa tak dituangkan dalam bentuk santan, tapi disangrai (serondeng), lalu ditumbuk halus bersama rempah.
Meski resepnya sama dengan gulai pada umumnya, Garbin mengaku tiap orang memiliki garis tangan sendiri-sendiri yang menentukan enak tidaknya hasil masakan. "Ini rahasia Tuhan," katanya. Dia mencontohkan, meski sama-sama resep dan komposisinya, hasil racikan gulainya masih kalah enak dengan racikan Khoiri, salah satu anaknya yang kini ikut membantu berjualan. "Aneh tapi nyata".
Ketika ditanya, Khoiri menyatakan yang membedakan resep masakannya dengan gulai lain adalah tangannya. "Soal resep, semua sama," kata Khoiri.
Demikian halnya dalam memilih daging kambing, menurut Khoiri, sama dengan pedagang lainnya, yakni terdiri dari kepala, telinga, pipi, lidah, otak, jeroan, kaki dan iga. Asal dibersihkan dan dimasak dengan benar, gulai tak berbau prengus.
Kedai milik Garmin sangat sederhana. Tendanya menempel di salah satu bangunan kuno di belakang Gereja Blenduk. Tapi tiap hari kedai ini menghabiskan 30 kilogram kambing setara 200 porsi. Buka dari jam tujuh pagi sampai jam empat sore. Jika tak ingin antri, disarankan jangan datang antara jam 12 sampai jam satu siang.
Dengan Rp 20 ribu, Anda bisa menikmati seporsi Gulai Bustaman dipadu dengan tempe goreng kering dan taburan irisan bawang merah. Juga sambil menikmati keunikan bangunan tua Gereja Blenduk dengan atap kubahnya yang cembung menjulang. Dari kedai ini, kita bisa menikmati dua ikon kota Semarang sekaligus: Gulai Bustaman sebagai ikon kuliner dan Gereja Blendek sebagai ikon bangunan kuno di Kota Lama Semarang.
SOHIRIN