TEMPO.CO , Kapuas Hulu: Konselor Kedutaan Jerman di Indonesia Bidang Kerja Sama Pembangunan Andreas Beckermann dan rombongan bertandang ke sejumlah daerah di pedalaman Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Ini bukan kunjungan jalan-jalan, tapi memantau langsung jalannya kerja sama Jerman-Indonesia khususnya dengan Kementerian Kehutanan dalam program kehutanan dan perubahan iklim (Forests and Climate Change Programme/ ForClime).
Pemerintah Jerman telah menghibahkan 20 juta euro dalam program untuk mendukung pengurangan emisi dari deforestrasi dan degradasi hutan (REDD+) ini selama tujuh tahun tepatnya untuk periode 2011-2017. “Saya memang lebih suka melihat langsung prosesnya di lapangan, bukan tahu setelah dikabari programnya rampung,” kata Andreas saat mengakhiri kunjungan selama empat hari di Kapuas Hulu, Rabu, 8 November 2012.
Rombongan inti bersama Andreas sebenarnya hanya delapan orang. Dua orang dari Jerman yaitu istrinya Ingeborg Seitz, yang juga bekerja di Kedutaan, dan Ketua Tim Kebijakan dan Pengembangan Strategi ForClime Barbara Lang. Sisanya seorang konsultan untuk pemerintah Jerman, konsultan dari Kementerian Kehutanan, dan tiga orang wartawan. Namun beberapa perwakilan ForClime dan pegawai daerah setempat ada juga yang ikut dalam rombongan.
Sebenarnya, kunjungan ini lebih mirip petualangan dan jauh dari kata nyaman. Sangat berbeda jika dibandingkan mengikuti kunjungan pejabat pemerintah pusat atau kementerian yang berkunjung ke daerah. Semua fasilitas serba siap dan formalitas belaka.
Tapi ini, sejumlah tempat yang dikunjungi memiliki medan yang tak biasa. Mulai dari letaknya yang jauh dan harus ditempuh dengan jalan darat yang berlubang, hingga masuk ke desa tanpa listrik yang harus ditempuh dengan jalan kaki. Jangan tanya soal sinyal handphone, ada tapi lebih banyak tiada. Satu lagi: jangan harap menginap di hotel bintang lima.
Kunjungan pertama ke Bukit Tekenang yang berada di tengah Taman Nasional Danau Sentarum mungkin cukup menyenangkan. Minimal si konselor dan rombongan merasakan nikmatnya menyusuri sungai Kapuas yang terkenal dan Danau Sentarum selama hampir dua jam dengan kapal cepat. Tapi tetap saja beresiko, mengingat kondisi sungai sedang pasang cukup tinggi saat itu. “Saya suka, tempatnya indah,” kata Andreas tersenyum.
Kunjungan berikutnya ke daerah ekowisata di Desa Menua Sadap dan melihat perkembangan program energi listrik dari mikrohidro yang akan diterapkan di desa itu. Kali ini memang tak begitu menantang, tapi tetap saja jalan raya yang jauh dari kata mulus membuat perjalanan menjadi terasa melelahkan. “Sedikit capek. Tapi karena masyarakatnya ramah, saya menikmatinya,” kata Barbara.
Kunjungan terakhir, rombongan ke Desa Labian Iraang, di Kecamatan Batang Lupar, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Untuk mencapai desa yang tak terjangkau listrik ini, rombongan harus menempuh jarak 3,5 kilometer dengan jalan kaki pulang-pergi.
Mungkin gampang jika jalanan beraspal dan landai. Tapi ini sebaliknya. Jalanan tanah liat yang berlubang dan becek karena hujan ini pun harus ditempuh dengan naik-turun karena bentuknya yang berbukit. Alhasil, sepatu penuh lumpur dan keringat mengucur di kemeja rapi sang konselor dan rombongan dari luar negeri itu. Tapi, mereka tak mengeluh.
“Beginilah cara pemerintah Jerman mendukung program REDD di Indonesia. Kami juga bekerja dengan sepatu yang kotor,” kata Barbara.
MUNAWWAROH
Berita lain:
Malioboro Didorong Jadi Kawasan Ramah Pejalan Kaki
Agenda Wisata di Solo Belum Dikelola Optimal
Maros Ingin Kembalikan Kejayaan Wisata Bantimurung
Jaringan Telpon Kabel di Kawasan Bromo Lumpuh
Tabuh Genting di Ceramic Music Festival 2012