TEMPO.CO, Labuan Bajo - Pulau Kanawa itu sangat kecil. Mungil. Cukup 40 menit sampai satu jam, untuk mengelilingi tanah itu. Pada bagian depan pulau, memang terhampar pasir putih. Tapi rada ke belakang, yang ada adalah hutan bakau serta kumpulan ilalang berwarna kuning. Sangat mirip sabana di Afrika. Cuma kurang jerapah saja.
Sore itu, Senin, 1 Oktober 2012, saya coba berkeliling pulau. Kali ini perjalanan tidak hanya bersama dua teman perjalanan saja, tapi juga ditemani Diko, anjing milik pengelola Pulau Kanawa. Pulau kecil, sekawanan teman, serta anjing pendamping. Kami sudah mirip dengan Lima Sekawan di novel karangan Enid Blyton. Lima sekawan yang tengah menguak misteri di pulau tak berpenghuni.
Baca Juga:
Tapi kami tidak memiliki banyak waktu seperti Lima Sekawan-nya Enid Blyton. Matahari yang semakin turun memaksa kami berbalik arah kembali ke saung. Lebih baik menahan rasa ingin tahu apa yang ada di sisi belakang pulau, dari pada terjebak di bebatuan karang kala gelap dan air pasang. Soalnya tak ada satu pun dari kami yang memboyong alat penerangan.
Di saung, kami duduk seraya meluruskan kaki. Pemandangan matahari bersembunyi ke belakang punggung gunung tergambar jelas di depan mata. Tapi begitu sulit dijelaskan dengan kata-kata. Hanya saja suasana itu bisa menyisipkan romantisme di dalam dada. Toh tiba-tiba ada suara terdengar, “Aku sayang kalian, teman-teman.”
Ha?! Satu teman terkontaminasi aura romantis senja. Tak datang ke Pulau Kanawa bersama pasangannya, teman perjalanan pun menjadi sasaran. (Baca juga: Bulan Madu di Pulau Kanawa, Bagian 1).
Mentari sudah tertelan bumi. Fokus kami mulai teralih dari pemandangan alam ke bunyi perut. Dan restoran Starfish yang menjadi tujuan kami untuk makan malam. Kami memang harus ke sana untuk bersantap. Sebab Kanawa tidak punya tempat lain yang menjual pangan. Warung kelontong pun tak ada. Karena itu, tiap tamu diwajibkan membawa perlengkapan pribadi mereka: sabun, sampo, air minum, dan sebagainya.
Seperti yang sebelumnya saya sebut, pasokan listrik di Kanawa sangatlah terbatas. Hanya menyala pukul 17.00-23.00. Kala itu, pengelola Kanawa memang sudah menyalakan penerangan. Tapi hanya untuk saung, bungalow, dan restoran, tanpa ada lampu jalan. Jalur setapak hanya diberi penanda berupa deretan kerang serta lampu bertenaga matahari. Meski tak membuat jalan terang benderang, setidaknya kami bisa berjalan sesuai alur yang ada.
Di Starfish, tempat makan terbagi dua: restoran terbuka beratap seng atau pada jejeran meja tepi pantai di bawah pohon rindang. Untuk penerangan, pengelola menggantungkan beberapa lampion di ranting pohon. Menjadikan suasana temaram. (Baca lanjutannya di: Bulan Madu di Pulau Kanawa, Bagian 5).
CORNILA DESYANA
Berita lain:
Bulan Madu di Pulau Kanawa (Bagian 1)
Bulan Madu di Pulau Kanawa (Bagian 2)
Bulan Madu di Pulau Kanawa (Bagian 3)
Lampung Gelar TIME
Es Krim Dung-dung Laris Manis di Pameran Senayan