Mengunjungi Tanjung Isuy harus tepat memilih waktu. Danau Jempang yang mengelilinginya merupakan danau pasat surut. Kala musim hujan, danau seluas sekitar 15.000 hektare ini akan menjadi samudera luas yang dalam.
Sebaliknya pada musim kemarau, air akan menyusut hingga kedalaman tinggal kurang dari 2 meter, dan sebagian besar wilayah danau akan kering kerontang. Waktu kunjungan terbaik di musim hujan, ketika air meluap penuh, dan ribuan satwa rawa sedang bermigrasi ke sini.
“Kebanyakan turis datang di musim hujan. Ketika suara kodok, bunyi jengkerik, suara hujan, dan burung hantu asyik buat menemani mereka buat membaca buku,” ujar Ahmad, pemandu wisata dari De’ Gigant Tours yang kerap mendampingi turis mengunjungi Tanjung Isuy.
Saya bersama seorang teman menelusurinya musim hujan akhir tahun lalu. Memulai perjalanan dari Kota Tenggarong, Kutai Timur. Karena takut akan kemalaman ketika tiba di Tanjung Isuy, kami memilih berangkat menggunakan bus, dan baru kembalinya nanti akan ditempuh dengan menyusuri sungai Mahakam.
Delapan jam dari Tenggarong, akhirnya menjelang sore, kami turun dari bus umum di Simpang Mancong, sekitar 15 kilometer dari Tanjung Isuy. Lokasinya tidak jauh dari kampung Mancong, kampung adat Dayak Benuaq. Sepanjang perjalanan, di mana-mana pemandangan didominasi lahan perkebunan kepala sawit dan area pertambangan batubara.
“Ada 20 area pertambangan batubara dan perkebunan kelapa sawit disekililing Danau Jempang,” ujar Sarif (50) dari atas bak truk yang kami tumpangi. Sarif asli Malang, Jawa Timur, telah puluhan tahun tinggal di Tanjung Isuy, dan kawin dengan perempuan Dayak setempat. Ia menasehati. “Tak usah takut dengan orang Dayak, disini semuanya orang baik,” ujarnya.
Hmmm.. lumayan menenangkan kami. Sore, kami tiba di Tanjung Isuy. Sudah ditunggu Pak Bahrudin di depan halaman lamin. Kami menginap di lamin Wisma Wisata milik Bahrudin yang tepat berada di atas Danau Jempang. Dua turis asal Prancis dan Belgia baru tadi pagi meninggalkan kamar yang kami tempati. Tak ada pesta dan pertunjukan tari-tarian adat yang menyambut. Maklum kami memang tidak memesan. “Kalau mau, bisa saja disiapkan. Biayanya Rp 600 ribu untuk tari-tarian dan Rp 600 ribu untuk seperangkat kuliner penyambutan tamu,” ujar Bahrudin.
Dengan menyewa ces yakni perahu jungkung kecil bermesin 20 PK, sore itu kami putar-putar mengelilingi Danau Jempang menikmati sunset. Wouw, asyiknya jadi orang Tanjung Isuy, belasan orang tampak berjajar di dermaga sedang asyik memancing ikan. Dengan mudahnya mereka berkali-kali menarik kail yang terkait ikan patin, baung, emas, atau gurame.
Ribuan kuntul dan burung rawa memenuhi kawasan Danau Jempang sore itu. Burung-burung rawa asyik bertengger di atas punggung kerbau dan sapi yang sedang merumput di pinggir danau. Air danau terisi penuh di musim hujan. Sebuah jembatan kayu yang melintasi tengah danau, melengkapi keindahan pemandangan sore hari. “Jembatan orang pacaran,” ujar Iin, pengemudi ces yang orang Bugis dan lahir besar di Tanjung Isuy.
Jembatan dari kayu ulin lokasi favorit para turis nongkrong dan para anak muda Tanjung Isuy pacaran sambil menikmati pemandangan pelangi di atas Danau Jempang.