TEMPO.CO , Mataram: Wisatawan mancanegara berseliweran di Gili Trawangan. Ada yang berjalan kaki. Ada pula yang bersepeda. Tidak sedikit pula yang menumpang cidomo – angkutan tradisional yang menggunakan kuda sebagai penariknya. Bahkan ada pula yang menunggang kuda sewaan.
Mereka berseliweran di seputar pulau wisata yang luasnya 360 hektare. Sepanjang sisi timur pantai saja jaraknya sekitar tiga kilometer. Atau jika memutari pulau tersebut sekitar 7,3 kilometer yang bisa ditempuh sekitar dua jam jika berjalan kaki.
Baca Juga:
Ini juga dialami Muhammad Husni Djibril, 58 tahun. Ketua Komisi II Bidang Ekonomi dan Pariwisata Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Nusa Tenggara Barat itu untuk kali pertama berkunjung ke Gili Trawangan, Sabtu, 28 April 2012. Bersama istri dan anaknya, ia harus menaiki cidomo menuju Hotel Villa Queen berjarak sekitar tiga kilometer dari pelabuhan di pulau itu. ‘’Saya terbayang sewaktu masih kecil di kampung, naik cikar,’’ kata Husni yang berasal dari Kabupaten Sumbawa.
Di depan pelabuhan terbuka tersebut, sejumlah angkutan tradisional cidomo menanti. Ya itulah cidomo sebagai transportasi lokal di pulau wisata Gili Trawangan yang menjadi primadona kunjungan wisatawan mancanegara ke Lombok.
Seorang warga setempat yang juga pemilik Sama-Sama Bar & bungalow Acok Zani Basso menjelaskan setiap harinya, pengunjung yang datang berlibur ke Gili Trawangan bisa mencapai 1.000 orang. ‘’Di antaranya 500an orang wisatawan mancanegara,’’ ucapnya.
Setiap tahunnya, Gili Trawangan dikunjungi sekitar 14 ribu orang. Di sana sudah 60 persen terisi bangunan permukiman dan hotel. Sedangkan 40 persen berupa lahan kosong untuk taman. Dari 5.000 kamar penginapan yang tersedia, 60 persen adalah milik penduduk.
Tidak ada ojek di sana. Karena di pulau seluas 360 hektare yang jarak kelilingnya sejauh 7,3 kilometer ini memang tidak diizinkan adanya kendaraan bermotor. Selain 32 cidomo yang terdaftar milik penduduk di bawah naungan Koperasi Januar Kuning, adalah sepeda yang disewakan oleh 13 persewaan.
Ketiadaan kendaraan bermotor di sana bukan larangan dari Pemerintah Kabupaten Lombok Utara. ‘’Ini kesepakatan masyarakat dan pelaku bisnis. Dan ternyata lebih effektif,’’ ujar Kepala Desa Gili Indah Muhammad Taufik.
Kesepakatan berupa awig-awig itu terdiri dari beberapa hal. Di antaranya, keinginan agar terbebas dari polusi dan kebisingan. Sebab, nafkah mereka tergantung dari kenyamanan wisatawan yang ingin berlibur di lokasi yang sunyi.
Lainnya adalah pengamanan terumbu karang, penataan lokasi surfing, pengembangan rumput laut, atau sampah.
Seorang pelaku wisata asal mancanegara yang juga pengelola Gili Eco Trust (kumpulan pengusaha dan warga) Delphine Robbe mengatakan para wisatawan sudah bosan dengan kemacetan dan polusi udara dari kendaraan bermotor. ‘’Tidak ada motor dan mobil bagus dan positif untuk pariwisata,’’ katanya kepada Tempo, Kamis 3 Mei 2012.
Delphine Robbe, asal Paris Perancis, 34 tahun, memiliki latar belakang pendidikan teknik, biologi dan pertanian yang memulai bekerja proyek mangga dan leci di Madagaskar.
Dari tumbuhnya keparwisataan di Gili Indah, kata kepala desanya Taufik, tidak dapat dipungkiri masyarakat mudah mendapatkan pekerjaan. ‘’Memang tidak bagus amat rumahnya, tetapi ada penghasilan,’’ kata kepala desa yang memiliki 1544 orang penduduk di Gili Trawangan, 546 orang penduduk di Gili Meno dan 1.583 orang penduduk di Gili Air. ‘’Di sini perputaran uang mencapai Rp5 miliar sehari,’’ ucapnya.
Suasana tenang memang diinginkan. Di sepanjang pantai timur pulau Gili Trawangan, bagaikan pantai negeri asing karena hampir semuanya orang asing. Ratusan wisatawan mancanegara berbaring berjemur atau ada pula yang baca buku di bawah rindangnya pohon cemara dan akasia yang juga meneduhi jalanan tanah yang mengelilingi pulau tersebut.
Sekitar 700 kamar penginapan milik penduduk, losmen, cottage, bungalow hotel berbintang dan kafe-kafe berjajar. Itulah suasana sehari-hari di pulau wisata Gili Trawangan, sekitar 45 menit penyeberangan dari Bangsal Pemenang di utara Lombok Barat. Pohon-pohon cemara dan akasia meneduhi jalanan tanah yang mengelilingi pulau tersebut.
Tiadanya motor di pulau tersebut, bukan berarti anggota warganya tidak memiliki motor ataupun mobil. Ada 10 orang warga di sana yang memiliki kendaraan bermotor ditempatkan di Bangsal Pemenang. Ini digunakan jika ada kepentingan ke kota Mataram. Sedangkan di Gili Trawangan sendiri, seperti yang dimiliki Ketua Koperasi Angkutan Perahu Karya Bahari Abdullah Daeng Tola, sebuah sepeda bermerek Poligon Hamer.
Potensi wisata di Gili Trawangan ini menarik minat seorang pengusaha asal Kalimatan Selatan, Sukri Sugianto. Melalui PT Queen Gili Trawangan (QGT), ia membangun hotel Villa Queen di kawasan Sunset pantai barat Trawangan.
‘’Menarik karena potensinya yang luar biasa,’’ ujar General Manajer Queen Villas & Spa Goya A Mahmud di sela Media Gathering, Jumat-Sabtu 27-28 April 2012 lalu. Menginvestasikan dananya sekitar Rp80 miliar, PT QGT membangun 125 kamar empat kategori : deluxe, cottage, vila dan royal vila yang tarifnya mulai US $ 200 sampai US $ 700 per malam. Gili Trawangan, menurut Goya patut untuk berlibur menyelam dan bulan madu.
SUPRIYANTHO KHAFID