TEMPO.CO, Kediri – Jika ada yang bosan dengan nasi sebagai menu makanan pokok, tak ada salahnya mencoba punten. Terbuat dari nasi masak yang ditumbuk halus dengan campuran garam serta kelapa, punten menjadi pilihan pas sebagai pengganjal perut dengan cita rasa gurih.
Bagi masyarakat Kediri dan warga pedesaan pada umumnya, punten bukanlah makanan baru. Meski terlihat sederhana, menu ini justru lebih mahal dari segi ekonomis dibandingkan nasi biasa. Bentuknya yang kenyal dan putih bersih membuat punten layak untuk dihidangkan di meja restoran atau perjamuan mewah. Rasanya pun cukup gurih karena mengandung santan dari parutan kelapa yang ditumbuk.
Lantas apa jadinya jika punten yang bercita rasa gurih ini dipadu dengan sambal pecel yang pedas? Jika merasa penasaran, tak ada salahnya mencicipi pecel punten di rumah makan sederhana milik Ester di Kelurahan Ketami, Kecamatan Pesantren, Kota Kediri.
Meski berada di areal persawahan dan ladang tebu, tingkat kunjungan konsumen di tempat ini jauh mengungguli rumah makan berbintang. Bahkan, pada jam istirahat siang, tak ada tempat yang tersisa oleh kehadiran pegawai negeri sipil di Pemerintah Kota dan Kabupaten Kediri. Hal ini cukup mencengangkan mengingat jarak antara rumah makan dengan perkantoran melebihi lima kilometer.
Sesuai namanya, pecel punten buatan Ester ini memiliki sensasi lidah yang berbeda. Jika pada umumnya campuran sayur yang diluluri sambal pecel dipadu dengan nasi, kali ini digantikan dengan punten. Punten berukuran besar yang telah dipotong menjadi tiga bagian ukuran tiga ruas jari berbentuk persegi ditata di atas piring.
Di atasnya diletakkan potongan daun ketela, daun turi, kecambah, serta lima buah kerupuk kali sebelum diguyur dengan sambal pecel. “Jelas berbeda dengan nasi pecel biasa,” kata Faizal Rizal, salah seorang pelanggan pecel punten, Jumat, 2 Maret 2012.
Rizal sengaja memilih pecel punten sebagai menu makan siang karena tidak terlalu berat dibandingkan nasi putih. Namun demikian, tiga iris punten dan setumpuk daun ketela cukup pas untuk mengganjal perut. Jika masih tersisa ruang di lambung, tersedia aneka gorengan yang pas sebagai pendamping pecel punten.
Dan agenda makan siang itu benar-benar tuntas setelah ditutup dengan segelas es kelapa atau semangkuk jenang grendul. Untuk mempertahankan pembelinya, Ester tak mematok harga tinggi untuk menu makanannya. Satu porsi pecel punten cukup ditebus dengan mahar Rp 3.000. Harga yang sangat terjangkau untuk masyarakat menengah dan pegawai kantor.
“Alhamdulillah usaha ini tak pernah sepi sejak tujuh tahun lalu,” kata Ester. Selain sensasi makanannya, keramahan Ester dan pekerjanya dalam melayani pembeli patut diacungi jempol. Meski dalam kondisi repot, dia tak pernah menolak menjelaskan punten buatannya kepada pembeli baru.
Dan di akhir pembayaran, mereka selalu mengucapkan kalimat wajib, yakni “Benjing mriki maleh nggih (besok datang lagi, ya),” kepada setiap pelanggannya dengan nada tinggi mirip sinden Soimah dalam sebuah iklan sosis.
HARI TRI WASONO