TEMPO.CO, Jakarta - Perayaan Imlek saat ini dirayakan oleh sebagian besar warga keturunan Tionghoa di Indonesia. Tapi siapa sangka, di Jakarta pada tahun 1950-an, perayaan ini juga diramaikan oleh orang Betawi. Perayaan yang dimaksud merupakan arak-arakan keliling wilayah sekitar klenteng di Jakarta setelah menggotong Toa Pekong. Pesta perayaan ini dilakukan pada Cap Gomeh (pada tanggal ke-15) atau Cap Lakme (pada hari ke-16).
Menurut Herman, salah satu saksi hidup berusia 72 tahun, di tahun 1950-an di Kelenteng Amurva Bhumi mengadakan arak-arakan di sepanjang jalan raya dari Jalan Pasar Lama Mester ke Matraman, lanjut ke Jalan Slamet Riyadi, lalu ke jalan Tjap Jenet (tuan anah orang Arab di Jalan Matraman, lalu ke putaran trem Kampung Melayu (sekarang terminal), kemudian keliling di Pasar Lama Mester, dan akhirnya kembali ke Amurva Bhumi.
"Orang nonpribumi (orang Cina) pestanya bareng sama orang pribumi," kata Herman saat diwawancarai Tempo di Kelenteng Amurva Bhumi, Jalan Pasar Lama Mester, Jatinegara, Jakarta Timur, Ahad, 22 Januari 2012.
Arak-arakan yang diadakan Amurva Bhumi dilaksanakan pada tanggal 16 bulan pertama pada kalender lunar Cina. Maka, pesta perayaan itu disebut Cap Lakme. Masing-masing kelenteng di wilayahnya mengadakan Cap Gomeh dengan tanggal yang berbeda. "Di Glodok pasti duluan yaitu tanggal 13-14-15 kalender lunar Cina," kata Herman yang lahir di Mester ini. Sementara di wilayah Senen dirayakan tanggal 14-15 dan terakhir di wilayah Jatinegara Mester pada tanggal 16.
Dalam arak-arakan ini, orang-orang Betawi datang ke kelenteng-kelenteng pada pukul 4 sore dan semalaman suntuk terus memainkan musik gambang kromong dan tanjidor. Sebagian besar dari mereka datang dari Bekasi dan Tangerang. Kedatangan pemusik orang Betawi yang menyanyikan lagu Betawi dan memainkan pantun ini turut menghibur orang-orang Cina di tahun baru. Herman masih ingat betul lagu Si Jali-jali selalu dinyanyikan. Pantun pada masa lalu pun ia masih hafal, "Ada uang abang sayang, ga ada uang abang melayang," ujarnya sambil tertawa.
Pemusik tersebut juga menghibur ke toko-toko orang Cina dan mendapat angpao sebagai imbalannya. "Semua orang baik yang nonpribumi atau pribumi, pada ngibing (joget-joget) sambil diiringin lagu Betawi," ujar Herman yang mengaku dirinya Asnawi (Asli Cina-Betawi).
Herman juga masih ingat rute pemusik gambang kromong tersebut pada saat pesta perayaan Cap Gomeh/Lakme. Pemusik dari Bekasi biasanya jalan ke kelenteng di Kota terlebih dulu, setelah itu melanjutkan perjalanan ke Senen, lalu berakhir di Mester. "Orang-orang Betawi itu kalau sudah sampai Kelenteng Toa Se Bio di Petak Sembilan pasti nginep semaleman dulu," ujar Herman. Ia melanjutkan kalau pada pagi harinya pemusik gambang kromong itu selalu ngamen di toko-toko orang Cina.
Semua orang di wilayah Mester, bahkan di seluruh wilayah Pecinan, turun ke jalan raya untuk berpesta. Selain itu, juga terdapat rangkaian arak-arakan bernama ceng-ge. Ceng-ge adalah arak-arakan kumpulan pemusik gambang kromong yang bermain di atas kereta dengan kotak boks besar berhiaskan kembang-kembang cantik. Kereta tersebut didorong oleh beberapa orang di bawah kotak tersebut. Menurut Herman, tinggi kotak itu mencapai tiga meter. "Para pemusik Gambang Kromong menyanyi menggunakan toa dan naik di atas kotak itu agar terlihat oleh penonton," katanya. Bahkan, kalau mau naik ke atasnya harus menggunakan tangga.
Bersamaan dengan ceng-ge, menurut Herman, ada pula penari cokek (wanita penghibur). Cokek boleh dimainkan oleh wanita dari suku manapun tapi harus muda, cantik, dan memakai baju kebaya. Wanita tersebut mengajak para penonton pesta untuk ikut menari dengan mengalungkan selendangnya kepada orang-orang. Bahkan, cokek pun diberi saweran oleh penonton. "Kalau udah ada ceng-ge dan cokek, pasti semuanya pada ngibing dengan senangnya," ujar Herman sambil tertawa lepas.
Seluruh rangkaian acara di pesta perayaan ini mendapat dukungan dana dari orang-orang Cina kaya. Mereka menyewa jasa orang-orang Betawi untuk memainkan musik dan wanita pribumi untuk menari sebagai cokek. Orang-orang Cina kaya itu terdiri dari beberapa kelompok dan kadang saling memamerkan pemusik dan cokek yang disewa oleh mereka. "Meski saling memamerkan satu sama lain, tapi tidak sampai ada perkelahian," ujar Herman. Ia juga menambahkan kalau dulu hubungan antara orang pribumi dan nonpribumi sangat harmonis.
Apalagi kalau ada orang-orang yang mabuk di jalan karena minuman keras pada tengah malam, pasti tidak akan dirampok atau tindak kriminal lainnya. "Paling-paling cuma ada copet kalau sedang ramai-ramainya pesta," katanya. Meskipun pesta perayaan arak-arakan ini dianggap aman oleh Herman, pengamanan juga dilakukan oleh polisi, tapi dalam jumlah personil yang sedikit. Menurutnya dulu di Mester penduduk masih sedikit, jadi kriminalitas juga masih minim.
Herman mengaku lebih senang merayakan Imlek dan Cap Gomeh/Cap Lakme pada tempo dulu. Suasana perayaan sangat semarak karena berbaur dengan semua orang. Pada saat itu tidak ada prasangka antara satu etnis dengan yang lain. Semuanya senang merayakan pesta ini satu sama lain.
INU KERTAPATI