TEMPO.CO - Setelah hari-hari melelahkan di tengah demonstrasi berdarah Tahrir Square, setelah keluar dari barikade tank-tank berwarna pasir, melewati tentara Mesir yang menyandang senapan mesin, siang itu saya berhenti di sebuah “oase”. Terlempar 200 tahun ke belakang, ketika Kairo masih dilalui kereta kuda, dan bukannya mobil Korea. Ketika negeri di delta Sungai Nil ini masih dipimpin raja, bukan presiden dari Angkatan Udara.
Setelah melalui gang-gang sempit di antara bangunan kuno yang berhimpit di pasar Khan Khalili, saya tiba di ketenangan itu. Namanya El Fishawi, kafe sempit dengan cermin-cermin raksasa, tak jauh dari Masjid Al-Azhar. Saya tak mengambil duduk di dalam, tapi di sebuah sofa kayu panjang yang mepet di tepi gang. Seorang gadis kecil dengan cerewet menawarkan penghias kepala wanita. Saya menggeleng dan dia bilang, “Pikirkan lagi, Tuan.”
Kafe ini sudah ada pada 1773. Sejak hari pertama dibuka, pintunya tak pernah ditutup sedetik pun. Saya percaya saja dan tak mengecek engsel pintunya yang mungkin sudah membatu. Ia tetap buka meski pecah perang melawan kolonial Inggris, revolusi yang menghancurkan sistem monarki, perang dengan Israel, dan juga demonstrasi besar di Tahrir yang menurunkan Presiden Husni Mubarak, bulan lalu.
Sambil tetap memasukkan kedua tangan dalam kantung jaket, saya berseru kepada pramusaji: “Shay (teh).” Di kafe-kafe Mesir, teh hitam pekat adalah menu paling favorit, mengalahkan kopi. Aneh, karena tempat itu tetap bernama maqha (tempat kopi) atau bahkan qahwa (kopi), dan pemiliknya dipanggil qahwaji. Hanya sedikit yang memesan kopi espresso Turki yang ditanak di atas api dalam gelas kuningan yang amat kecil.
Tak sampai lima menit, pesanan saya datang di atas pinggan kuningan. Isinya: teko putih dari besi, gelas kosong, segelas air putih, satu gelas berisi daun mint segar, dan gula. Saya meletakkan daun mint ke dalam gelas kosong dan menyiramnya dengan teh panas. Beberapa saat kemudian baru memasukkan gula, memutar sendok, dan mengeluarkan daun harum itu.
Kenikmatan bertubi-tubi mendatangi saya saat teh manis itu mulai menyentuh ujung syaraf lidah, ketika kehangatannya menjalari kerongkongan, juga waktu uap daun mint menerobos keluar lewat lubang hidung. Setiap sesap, saya berusaha merasakan ketiga sensasi itu. Setelah isi poci putih itu tandas, saya baru mengerti kenapa sastrawan Naguib Mahfouz bisa begitu produktif di kafe ini. Duduk lama, menulis novel-novel yang membuatnya mendapat Nobel pada 1988.
QARIS TAJUDIN