TEMPO.CO- Sejauh mata memandang hanya hamparan hijau yang terlihat. Hampir tidak ada kebisingan maupun kegaduhan. Suara semilir angin dan kicauan burung hutan yang terdengar di tempat ini. Nyaman, asri dan tentam itulah yang dirasakan saat menginjakan kaki di Kampung Adat Dukuh di Desa Ciroyom, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut Jawa Barat.
Kampung adat ini berjarak 120 kilometer arah Selatan kota Garut. Dari kota ini, kami harus menempuh 5 jam perjalanan menggunakan mobil. Dari Cikelet, kami harus menempuh jalan menanjak dan berbatu sejauh 8 kilometer. Sepanjang jalan terbentang jurang dan hutan jati milik Perum Perhutani. Kampung Dukuh terbagi menjadi dua, yaitu kampung Dukuh luar dan dalam. Seperti permukiman Desa Galia di komik Asterix, kampung dalam dikelilingi pagar.
Kampung Dukuh dalam pagar merupakan daerah yang tanahnya diyakini sebagai tanah keramat, dan penghuninya harus mematuhi berbagai aturan adat. Pola hidup masyarakatnya sederhana. Berbeda dengan warga kampung luar pagar, mereka hidup tanpa listrik dan benda-benda modern lainnya.
Pendiri kampung itu dikenal sebagai Syekh Abdul Jalil. Saat kerajaan Mataram pecah, Bupati Rangga Ciempeh memintanya untuk menjadi penghulu di Sumedang. Namun kemudian ia pergi mengembara setelah Bupati memerintahkan pembunuhan dua orang utusan kerajaan dari Banten. Suatu ketika, Syekh yang sedang mencari tempat tinggal yang tetap, melihat pertanda berupa cahaya yang muncul dari tanah di sebelah barat.
Peristiwa itu terjadi pada malam Jumat, 12 Maulud. Tempat yang terletak diantara sungai Cipasarangan (Cikelet) dan Sungai Cimangke itu kemudian disebut Padukuhan yang berarti tempat belajar.
Posisi kampung adat yang berada diantara dua sungai itu ciri khas kampung adat di Jawa Barat. Banyaknya santri yang datang berguru agama Islam di sana, akhirnya membentuk permukiman. Selanjutnya kuncen kampung diserahkan ke pembantu dekat Syekh yang bernama Eyang Dukuh. Ia memulai pemagaran kampung untuk melindungi tanah yang dianggap karomah atau berkah itu.
Jabatan kuncen atau pemimpin kampung berlangsung turun temurun. Kuncen sekarang yang ke-14, bernama Lukmanul Hakim. Rumah kuncen berada di ujung utara kampung adat. Posisinya berada di kontur tanah yang lebih tinggi daripada rumah warga.
Kuncen bertugas untuk tafakur. Sepekan tiga kali ia berziarah ke makam Syekh di hutan larangan sebelah utara kampung sambil membawa nasi serta lauk-pauknya. Ritual itu disebut munjung. Tiap Sabtu, kuncen dan seluruh warga adat berziarah ke makam. Ritual ini juga terbuka untuk kalangan luar kampung. “Sehari bisa ada 200 orang luar yang ikut ziarah,” katanya.
Aturan adat juga menempatkan kedudukan dan peran kaum pria lebih tinggi daripada perempuan. Jika ada acara di suatu rumah, kaum pria masuk lewat pintu depan dan duduk diruang tengah. Sedangkan akses untuk perempuan dan anak-anak khusus lewat pintu belakang dan duduk di dapur. Orangtua berperan besar dalam perjodohan anak-anaknya.
Pernikahan bisa digelar setelah ada kecocokan tanggal lahir calon pasangan dan persetujuan orang tua masing-masing. Kecocokan tanggal lahir itu dipercaya bisa membawa kelanggengan dan kebahagiaan rumah tangga. Pekerjaan utama kepala keluarga di kampung adat itu adalah berladang. Sebagian juga ada yang pergi ke laut menjadi nelayan. Hasil uangnya dipakai untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Peladang masih menerapkan pola ladang berpindah. Mereka punya siklus memutar lahan berladang. Tujuannya untuk mengembalikan unsur hara agar tanah kembali subur dan siap ditanami kembali. Kampung ini beberapa kali luluh lantak dilalap api. Kebakaran besar tahun 2010 lalu menghanguskan hampir 40 rumah.
Begitu juga dengan benda pusaka seperti sejarah kampung Dukuh yang ditulis dalam hurup arab gundul dengan bahasa Sunda Buhun turut musnah. Kini, sekelompok arsitek dari Arsitektur Hijau Universitas Katolik Parahyangan merekonstruksi kembali kampung kuno ini.
Menurut Moeliono Akbar, salah satu pendiri Arsitektur Hijau, dana rekonstruksi sekitar Rp 1,2 milyar. Dana sebesar Rp 1 milyar didapat dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Selain persoalan dana yang tak cukup itu, kuncen dan warga kampung adat kini juga tak bisa membangun sesuai aturan adat.
Karena tak punya lagi hutan cadangan, mereka terpaksa membeli kayu di toko bangunan. Juga paku, sebagai pengganti pasak. Ada juga, kata Moel, penghuni yang membuat pintu rumahnya dengan engsel. “Sekarang kita dan warga sepakat untuk kembali memakai pintu geser,” ujarnya.
Pemotongan kayu sekarang terpaksa memakai gergaji. Padahal dulu, para leluhur kampung hanya boleh memotong kayu dan membentuknya dengan golok. Memang pengerjaan itu memakan waktu yang lama.
Namun dibalik cara itu, para leluhur menanamkan semangat gotong royong antar warga, juga agar merawat baik-baik rumah mereka sebab dibuat dengan susah payah. Selain agar warga lebih menghargai kayu yang dipakai, mereka diajarkan untuk tidak mudah dan sembarangan menebang pohon demi alasan untuk pembuatan hunian.
Selain rekonstruksi, Arsitektur Hijau dan kuncen Uluk Lukman juga berencana mengembalikan kondisi lingkungan sekitar kampung agar lebih asri, sekaligus meningkatkan ekonomi penduduk, baik di Kampung Dukuh dalam dan luar. Menurut Moel, kini sudah ada empat konsep revitalisasi yang dananya berusaha mereka peroleh dari lembaga donor dan sponsor. Salah satunya membuat zona batas antara kampung dalam dan kampung luar.
Uluk Lukman, 53 tahun, kuncen Kampung Dukuh mengatakan pembangunan dihentikan sementara. “Pembangunan dihentikan sementara karena memasuki bulan sapar (bulan yang diangap tabu di tahun hijriah),” ujarnya.
ANWAR SISWADI | SIGIT ZULMUNIR