TEMPO.CO, Yogyakarta - Keraton Yogyakarta melibatkan peneliti berbagai disiplin untuk menelusuri ragam vegetasi sarat filosofi yang digencarkan penanamannya sejak Keraton Yogyakarta berdiri pada 1755 atau masa pemerintahan Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Para peneliti itu dipertemukan dalam forum International Symposium on Javanese Culture 2023 di Hotel Ambarrukmo Yogyakarta pada 9-10 Maret 2023 untuk mendiskusikan penelitian masing-masing. "Dalam forum ini para peserta diajak menggali dan menemukan kembali jejak vegetasi Keraton Yogyakarta lewat berbagai sudut pandang, sejarah, sains, sastra hingga sosial budaya," kata Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi mewakili Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X di sela pembukaan simposium, Kamis, 9 Maret 2023.
Dalam simposium yang masih rangkaian peringatan Tingalan Jumenengan Dalem atau 34 tahun Sultan Hamengku Buwono X bertahta sebagai raja itu, Mangkubumi menuturkan penelusuran sejarah vegetasi keraton itu membawa satu misi. "Kami ingin mengajak masyarakat peduli dengan vegetasi sebagai unsur utama lingkungan yang ada di sekitarnya," kata dia dalam forum yang melibatkan puluhan peneliti, baik dalam dan luar negeri sebagai pemateri itu.
Putri sulung HB X itu mengatakan sejak Keraton Yogyakarta berdiri pada 1755, Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan Hamengku Buwono I menanamkan filosofi yang selaras dengan alam dan menjadi pedoman pelaksanaan aktivitas keraton sebagai sebuah kerajaan. Filosofi selaras dengan alam ini yang disinyalir kuat menjadi dasar perancangan tata kota dan bangunan di Yogyakarta di kemudian waktu.
"Hal tersebut dapat dilihat salah satunya dari penyusunan vegetasi atau tumbuh-tumbuhan di lingkungan Keraton dari Tugu Yogyakarta hingga Panggung Krapyak yang sengaja disusun sedemikian rupa untuk mewakili simbol filosofi tersebut," kata Mangkubumi.
Dalam forum bertajuk Vegetasi: Makna dan Fungsinya dalam Menjaga Kelestarian Alam dan Tradisi di Keraton Yogyakarta itu, Mangkubumi mencontohkan beberapa vegetasi yang masih terjaga di lingkungan keraton dan dipercaya sarat makna. "Misalnya pohon sawo kecik dari aspek sejarah menjadi simbol nilai-nilai kebajikan masyarakat Jawa," kata dia.
Sawo kecik kerap dipercaya masyarakat di Jawa memiliki arti filosofi sarwo becik atau selalu menjadi baik. Selain itu, kata Mangkubumi, Sawo kecik yang gencar ditanam Keraton Yogya di masa lalu karena dari aspek sains tidak hanya memenuhi unsur perindang, namun membantu penyerapan polutan.
Dari pandangan sastra atau filologi, ilustrasi vegetasi dalam manuskrip milik keraton memuat gambaran kondisi alam dan sosial masyarakat Jawa kala itu. Adapun secara sosial historis, bahan pangan di Yogyakarta telah memperkaya prosesi ritual grebeg dalam bentuk gunungan sebagai simbol sedekah.
Penghageng Kawedanan Tandha Yekti sekaligus Ketua Panitia Penyelenggara Simposium GKR Hayu mengatakan momentum kenaikan tahta dan kembalinya 75 manuskrip digital menjadi langkah awal bagi keraton membuka diri agar nilai-nilai luhur dapat terus dilestarikan. “Tema vegetasi dipilih dalam forum ini untuk mengajak masyarakat menyadari pentingnya menjaga lingkungan yang sudah diwariskan para pendahulu," kata dia.
Sejak Desember 2022, keraton mengundang para akademisi, praktisi dan peneliti dari dalam dan luar negeri untuk berdiskusi terkait kekayaan vegetasi di lingkungan Keraton Yogyakarta. Melalui call for paper, panitia menerima 36 abstrak dari peneliti dalam dan luar negeri.
Keseluruhan abstrak atau paper kemudian ditinjau oleh 4 reviewer, hingga mengerucut 12 paper terpilih yang akan didiskusikan dalam sesi sejarah, sains, sastra, dan sosial budaya. Adapun sebagian besar pembicara dalam kegiatan ini adalah peserta call for paper terpilih.
Pilihan Editor: Jumenengan Sultan HB X, Wisatawan Bisa Kunjungi Pameran Vegetasi di Keraton Yogyakarta
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik Tempo.co Update untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram lebih dulu.