TEMPO.CO, Yogyakarta - Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta atau PBTY resmi digelar mulai Senin petang, 30 Januari 2023. Berlokasi di Kampung Pecinan Ketandan yang terletak di salah satu ruas Jalan Malioboro, pembukaan perdana event itu pasca absen dua tahun akibat Covid-19 langsung diserbu ribuan masyarakat.
Masyarakat yang mendatangi pembukaan itu dihibur dengan berbagai atraksi kesenian dan ratusan kuliner menggoda. Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X yang membuka perhelatan itu menyatakan event PBTY ini membawa masyarakat bisa merasakan bersama suasana keberagaman suku-suku bangsa yang hidup di Yogya, sebagai taman sarinya Indonesia.
"Suasana guyub-rukun ini perlu kita hidup-hidupkan, khususnya menjelang pesta demokrasi serentak tahun 2024," kata Sultan.
Sultan menuturkan mendekati tahun politik 2024, masyarakat harus berhati-hati dalam perkataan dan tindakan agar tidak disalahartikan yang bisa berakibat renggangnya kohesi sosial. "Untuk itulah, momen Pekan Budaya Tionghoa saya anggap sebagai rintisan kultural dalam kehidupan berbangsa," kata dia.
Menurut Sultan, dalam satu cerita kosmologi Cina, unsur air dalam tahun Kelinci Air membawa aura kelembutan dan sikap adaptif. Kelembutan dan adaptasi inilah yang berpeluang menciptakan kedamaian guna memperkokoh persatuan dan kesatuan di tengah berbagai kebhinnekaan.
"Mirip dengan budaya Tionghoa, dalam budaya Jawa, elemen air memiliki sifat luwes namun menyimpan kekuatan," kata Sultan.
Dalam keadaan normal, kata Sultan, air mempunyai sifat tenang, tidak pernah menghancurkan atau menyingkirkan benda-benda yang menghalangi arusnya. "Andai ada batu atau pohon, air senantiasa melaluinya dengan amat luwes, air itu melewati halangan tanpa adanya korban," kata dia.
Sultan menilai Pekan Budaya Tionghoa ini, dapat menjadi peristirahatan sejenak untuk merenung kembali bagaimana membangun semangat keIndonesiaan yang belakangan kerap terlanda oleh hawa panas, baik dari dalam maupun luar negeri, yang bisa berpotensi menjadi disintegrasi sosial. "Pekan Budaya kali ini juga menjadi momentum aktualisasi," kata dia.
Jika budaya memang menjadi ciri suatu bangsa yang diperoleh lewat proses belajar dan interaksi, kata Sultan, maka proses itu tentunya adalah proses integratif dalam hidup yang penuh toleransi. "Hal ini, selaras dengan sejarah bangsa Tionghoa di Nusantara berabad-abad lalu, yang datang dari Fujian, Tiongkok Selatan, dan telah berakulturasi menjadi bangsa Indonesia," kata dia.
Sultan mengatakan proses akulturasi itu menghasilkan berbagai ragam bahasa, masakan, kesenian, dan hasil karya-karya unik dan diakui sebagai khas daerah. Selain memperkaya bahasa lokal dari serapan bahasa Cina. Upaya saling memahami budaya antaretnik sungguh penting, sebab merupakan cikal-bakal terciptanya kedamaian permanen dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Oleh sebab itu, setiap Pekan Budaya Tionghoa yang digelar setiap tahun ini, Sultan HB X meminta selalu diusahakan sebagai media yang mengarah ke integrasi sosial-budaya. "Seperti halnya Wayang Potehi yang mengadopsi wayang kulit menjadi Wacinwa, Wayang Cina-Jawa," kata dia.
Baca juga: Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta Bisa Dikunjungi Lagi Januari
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik Tempo.co Update untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram lebih dahulu.