Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Menelisik Sejarah Grebeg Sudiro, Tradisi Imlek Simbol Kerukunan Etnis Jawa dan Tionghoa

image-gnews
Suasana acara Grebeg Sudiro di Solo untuk menyambut Imlek. Tempo/Maria Arimbi
Suasana acara Grebeg Sudiro di Solo untuk menyambut Imlek. Tempo/Maria Arimbi
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Ribuan masyarakat dan pegiat seni dari berbagai daerah antusias menyemarakkan Grebeg Sudiro 2023. Kirab yang digelar setiap tahun sejak 2007 tersebut digawangi Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kelurahan Sudiroprajan Kota Surakarta dan digelar dalam rangka memeriahkan Hari Raya Imlek.

Adapun tokoh masyarakat yang mencetuskan nama Grebeg Sudiro, yakni Oei Bengki, Sarjono Lelono Putro dan Kamajaya. Ketiga orang tersebut awalnya berkumpul di Pasar Gedhe dan secara tidak sengaja muncullah ide untuk membuat tradisi itu. 

Tujuan tradisi ini cukup sederhana, yaitu mengangkat nama Sudiroprajan agar dikenal masyarakat luas. Pada 2007, Grebeg Sudiro hanyalah event kampung. Namun karena yang diperkenalkan adalah budaya yang unik antara etnis Tionghoa dan etnis Jawa, Pemerintah Kota Solo memberi sambutan positif dan menjadikannya sebagai agenda tahunan pariwisata kota itu.

Grebeg Sudiro berasal dari susunan dua kata, yaitu Grebeg yang berarti perkumpulan dan Sudiro yang mengacu tempat diadakannya acara itu, yaitu di Kampung Sudiroprajan. Sudiroprajan sejak masa Kanjeng Susuhunan Pakubuwono X merupakan daerah percampuran antara etnis Tionghoa dengan etnis Jawa yang telah hidup rukun dan membaur. 

Acara yang digelar setiap 7 hari menjelang Hari Raya Imlek itu merupakan lambang akulturasi tradisi Jawa dan Tionghoa di Kota Solo yang melebur dalam suasana hangat dan toleransi. Perayaan serupa Grebeg Sudiro pernah diadakan di zaman Kanjeng Susuhunan Pakubuwono X (1893-1939).

Pada masa itu, tradisi menjelang Imlek tersebut dikenal dengan nama Buk Teko. Kepada Tempo.co, Sarjono Lelono mengatakan, kata "Buk" mengacu pada bangunan dari semen di ujung jembatan dan biasanya digunakan untuk duduk, sedangkan “teko” adalah tempat minum (porong kecil).

Menurut Sarjono, nama “buk teko” berawal dari kisah tutup teko milik Raja Surakarta, Paku Buwono (PB) X yang jatuh di sekitar jembatan di Sudiroprajan, namun ketika dicari tidak pernah ditemukan. Jembatan yang berada di timur Kampung Sudiroprajan itu kemudian dinamakan Buk Teko.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ritual Buk Teko yang menjadi cikal bakal Grebeg Sudiro ini dibuka malam hari dan menjadi rangkaian awal perayaan Imlek berupa arak-arakan gunungan hasil bumi dengan penerangan seribu lampion yang dibawa warga. Gunungan hasil bumi dan musik cokekan adalah simbol masyarakat Jawa, sedangkan sedangkan lampion menjadi simbol etnis Tionghoa.

Selain gunungan, di sepanjang kirab, warga memainkan musik cokekan. Tradisi cokekan sendiri sudah lama berkembang di Kampung Balong, Sudiroprajan, yang juga merupakan kawasan pecinan di Solo.

“Gunungan ini sebagai bentuk syukur kepada Tuhan atas limpahan rezeki, sedangkan lampion menjadi harapan agar perjalanan setahun ke depan terang benderang,” kata Sarjono.

Begitulah, Grebeg Sudiro telah menjadi sebuah pembauran sekaligus dialog yang elok antar etnis Jawa-Tionghoa. Harapannya, Grebeg Sudiro menjadi simbol kerukunan dan dihapusnya sejarah kelam perseteruan Jawa-Tionghoa yang pernah beberapa kali mewarnai Kota Solo.

Baca juga: Sebelum Perayaan Imlek, Patung Dewa-Dewi di Klenteng Yogya Mulai Dibersihkan

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram http://tempo.co/. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Melihat Alek Bakajang, Tradisi yang Mempererat Persaudaraan di Kabupaten Lima Puluh Kota

4 hari lalu

Kapal kajang terparkir di Sungai Mahat Gunung Malintang, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra barat. Kapal ini disiapkan untuk perhelatan Alek Bakajang pada 13-17 April 2024. (TEMPO/Fachri Hamzah)
Melihat Alek Bakajang, Tradisi yang Mempererat Persaudaraan di Kabupaten Lima Puluh Kota

Alek Bakajang diyakini masyarakat sudah dilakukan sejak ratusan tahun yang lalu, biasanya dilaksanakan tiga hari setelah Idulfitri.


Asal-usul Tradisi Lomban Setiap Bulan Syawal di Jepara

7 hari lalu

Warga berebut sesaji saat mengikuti prosesi Pesta Lomban di laut Jepara, Jepara, Jawa Tengah, Rabu 17 April 2024.  Pesta Lomban yang diadakan nelayan sepekan setelah Idul Fitri dengan melarung sesaji berupa kepala kerbau serta hasil bumi ke tengah laut itu sebagai bentuk syukur dan harapan para nelayan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rezeki dan keselamatan saat melaut. ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho
Asal-usul Tradisi Lomban Setiap Bulan Syawal di Jepara

Tradisi Lomban setiap bulan Syawal di jepara telah berlangsung sejak ratusan tahun lalu.


Digelar Tujuh Hari, Tradisi Seblang Olehsari di Banyuwangi Dipadati Pengunjung

7 hari lalu

Penari Seblang mengenakan omprok (hiasan kepala) dari janur, daun pisang muda, dan hiasan bunga segar untuk menutup kepala dan wajah. Tradisi ini digelar 15-21 April 2024 (Diskominfo Kabupaten Banyuwangi)
Digelar Tujuh Hari, Tradisi Seblang Olehsari di Banyuwangi Dipadati Pengunjung

Seblang merupakan salah satu tradisi adat suku Osing di Banyuwangi dalam mengejawantahkan rasa syukurnya.


Mengintip Bakdo Sapi di Boyolali, Tradisi Nenek Moyang yang Digelar setiap Akhir Lebaran

7 hari lalu

Gunungan sayur-mayur dan ketupat menjadi bagian dari rangkaian acara Bakdo Sapi yang diadakan di Dukuh Mlambong, Desa Sruni, Kecamatan Musuk, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Rabu, 17 April 2024. TEMPO/SEPTHIA RYANTHIE
Mengintip Bakdo Sapi di Boyolali, Tradisi Nenek Moyang yang Digelar setiap Akhir Lebaran

Tradisi Bakdo Sapi digelar di akhir perayaan Lebaran, bertepatan dengan kupatan atau syawalan


Lebaran Topat Lombok Barat Akan Diadakan di Pantai Tanjung Bias

13 hari lalu

Lebaran Topat di Lombok Barat 2023 (dok. Dinas Pariwisata Lombok Barat)
Lebaran Topat Lombok Barat Akan Diadakan di Pantai Tanjung Bias

Lebaran Topat tahun ini akan digelar pada hari Rabu, 17 April 2024


Berbagai Tradisi Lebaran di Luar Negeri, dari Arab Saudi hingga Senegal

15 hari lalu

Warga Saudi menyambut penetapan Hari Raya Idul Fitri pada hari Selasa dengan antusias.[Saudi Gazette]
Berbagai Tradisi Lebaran di Luar Negeri, dari Arab Saudi hingga Senegal

Setiap negara punya tradisi unik dalam merayakan hari raya Idulfitri atau Lebaran. Di Indonesia, Lebaran dirayakan pada 10 April 2024.


Asal-Usul Tradisi Membangunkan Sahur di Indonesia

28 hari lalu

Sejumlah pemuda memukul bekas tong plastik sambil menyanyikan lagu-lagu religi saat berkeliling pemukiman untuk membangunkan sahur di Balakong, Malaysia, 26 Maret 2023. Sejumlah pemuda berkeliling pemukiman warga sembari memainkan musik dengan bekas tong plastik dan menyanyikan lagu religi untuk membangunkan sahur pada bulan Ramadan. REUTERS/Hasnoor Hussain
Asal-Usul Tradisi Membangunkan Sahur di Indonesia

Asal-usul tradisi membangunkan sahur di Indonesia diyakini telah eksis sejak Islam masuk ke Tanah Air dan memiliki sebutan berbeda di setiap daerah.


Pesona Wae Rebo, Desa di Atas Awan yang Diakui Dunia

33 hari lalu

Senja di desa adat Waerebo, 28 April 2017. Desa adat Waerebo terletak di atas ketinggian 1200 Mdpl di Kabupaten Manggarai, NTT. ANTARA FOTO
Pesona Wae Rebo, Desa di Atas Awan yang Diakui Dunia

Wae Rebo, desa di perbukitan Pulau Flores, NTT dinobatkan sebagai salah satu kota kecil tercantik di dunia oleh The Spector Index, serta diakui UNESCO


Mengenal Makanan Gohyong, Bukan Kuliner Korea

36 hari lalu

Gohyong. Shutterstock
Mengenal Makanan Gohyong, Bukan Kuliner Korea

Gohyong menjadi jananan kaki lima yang tengah naik daun saat ini. Namanya seperti kuliner Korea, ternyata akulturasi Tinghoa dan Betawi.


Ramadan di Yogyakarta Diwarnai Kasus Antraks, Tradisi Berbahaya Ini Diminta Dihilangkan

40 hari lalu

Pemantauan daging segar oleh Pemkot Yogyakarta di pasar rakyat saat Ramadhan. (Dok. Istimewa)
Ramadan di Yogyakarta Diwarnai Kasus Antraks, Tradisi Berbahaya Ini Diminta Dihilangkan

Kasus suspek antraks di Sleman dan Gunungkidul, Yogyakarta, itu diduga kembali terjadi karena adanya tradisi purak atau brandu yang berbahaya.