TEMPO.CO, Jakarta - Kota Madiun memiliki destinasi wisata alam yang dapat memanjakan pikiran bagi siapa saja yang mengunjunginya. Selain itu, dunia kuliner yang disajikan oleh Madiun juga tidak kalah beragam dan menarik untuk dicicipi satu per satu. Namun, selain wisata dan kuliner, Madiun juga memiliki cerita historisitas tersendiri yang berkesan bagi masyarakat asli Madiun.
Lahirnya pemerintahan Kota Madiun dapat dipelajari dan ditelusuri dari sisa-sisa peninggalan sejarah, yaitu lembaga, adat istiadat, ataupun barang-barang. Kota Madiun memiliki dua kelurahan kala itu pada masa pemerintahan Kesultanan Mataram, kedua kelurahan tersebut memiliki status sebagai tanah perdikan (kebebasan). Tanah perdikan ini adalah tanah yang bebas membayar pajak ke kerajaan dan bebas mengurus rumah tangganya sendiri.
Berdirinya Madiun
Melansir dari madiunkota.go.id, jauh sebelum Kesultanan Mataram menduduki kelurahan Madiun, pada masa akhir pemerintah Majapahit di wilayah Madiun selatan sudah terdapat kerajaan atau pemerintahan Gagelang. Pemerintahan ini didirikan oleh Adipati Gugur Putra Brawijaya terakhir.
Selanjutnya dengan pertimbangan berdasarkan aspek geografi dan ekonomi, pusat pemerintahan bergeser ke bagian utara di pinggir bengawan Madiun yang dinamakan Kutho Miring, tepatnya di wilayah kelurahan Demangan dan kemudian pindah kembali ke kawasan Rumah Dinas Bupati Madiun sekarang ini.
Letak Madiun yang sangat strategis tersebut, tepatnya di tengah-tengah perbatasan Kerajaan Kadiri (Daha) membuat para pemberontak Kerajaan Mataram membangun markas di Madiun. Pemberontakan ini terjadi pada masa pemerintahan Kutho Miring. Saat itu, masyarakat Madiun pun sangat waspada, jika terkena imbas dari pemberontakan.
Baca juga:
Namun, ketika itu Madiun yang dipimpin oleh Bupati Mancanegara Timur bernama Ki Panembahan Ronggo Jumeno atau Ki Ageng Ronggo (gelar: Ronggo) yang wilayah kerjanya juga meliputi daerah Sawo Ponorogo ditugaskan untuk mendamaikan pemberontakan tersebut. Alhasil, kecemasan masyarakat Madiun pun teredam. Dengan begitu, tindakan yang dilakukan oleh Ki Ageng Ronggo ini memberikan kesan tersendiri bagi masyarakat Madiun. Dengan ini, Ki Ageng Ronggo dinobatkan sebagai perintis Madiun.
Mengutip dari p2k.unkris.ac.id, asal nama Madiun berasal dari kata medi (hantu) dan ayun-ayun (berayunan). Ki Ageng Ronggo mengartikan bahwa dua kata ini merepresentasikan dirinya ketika memperagakan Babat Tanah Madiun banyak hantu yang berkeliaran. Terdapat penjelasan lainnya yang menyatakan karena adanya kesamaan dengan nama keris milik Ki Ageng Ronggo, yaitu Keris Tundhung Medhiun. Namun, awalnya nama daerah ini bukanlah Madiun, melainkan Wonoasri.
Lalu, pada masa kepemimpinan Ronggo II yang bergelar Ronggo Prawirodirdjo, lahirlah seorang pahlawan nasional putra asal Madiun yang memiliki tugas sebagai Senopati Perang Pangeran Diponegoro yang bernama Ali Basah Sentot Prawirodirdjo.
Sebelum meletus Perang Diponegoro, Madiun belum pernah dikunjungi oleh orang-orang Belanda atau Eropa lainnya. Dengan berakhirnya Perang Diponegoro, Belanda mengetahui potensi daerah Madiun dan terhitung mulai 1 Januari 1832 Madiun secara resmi dikuasai oleh Pemerintahan Hindia Belanda dan dibentuklah suatu tatanan Pemerintahan yang berstatus karesidenan dengan ibu kota di Desa Kartoharjo (tempat istana Patih Kartoharjo).
Semua orang Belanda dan Eropa yang bermukim di Kota Madiun merasa memiliki kekuasaan superior sehingga berusaha untuk melaksanakan segregasi (pemisahan) sosial. Namun, berdasarkan perundang-undangan Inland-sche Gementee Ordonantie oleh departemen Binnen-landsch dibentuk Staads Gementee Madiun atau Kota Praja Madiun sesuai dengan peraturan Pemerintahan Hindia Belanda pada 20 Juni 1918 dengan Staatsblaad (1918) nomor 326.
RACHEL FARAHDIBA R
Baca: Ada Bjorka di Madiun? Yang Jelas Ada Hutan Pinus Nongko Ijo dan Monumen Kresek
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “http://tempo.co/”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.