Suasana dek 4 Kapal Dorolonda dari Ambon tujuan Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Foto Dok. Yolanda Agne
Siang itu Juan, saya, dan Darman duduk di dek tujuh tepatnya di bagian kapal paling atas. Seru sekali perbincangan kami siang itu sampai tak sadar kapal sedang melewati sebuah selat menuju pemberhentian selanjutnya Pelabuhan Murhum, Kota Bau-bau Sulawesi Tenggara.
Pada 2015, Darman mengaku pernah melakoni pekerjaan dengan risiko tinggi—pengedar obat-obat berbahaya. Ia sering mendapat pelanggan mulai dari pengusaha hingga artis. Wilayah Darman beraksi seputaran ibu kota Jakarta, sekali transaksi ia bisa mendapat puluhan juta. Katanya uang itu tidak dihabiskan sendiri ia harus membaginya untuk biaya hotel, sewa mobil dan lainnya.
Ia sempat hampir tertangkap polisi, ketika itu ia sedang mengendarai mobil dan polisi mengikutinya dari belakang. Karena panik ia memutuskan meninggalkan mobil yang berisi uang dan barang dagangannya, ia berhasil lolos.
Sudah lima tahun Darman meninggalkan pekerjaan sebagai pengedar. Menurut ia pekerjaan itu menghasilkan uang namun tidak membuat tenang. Ia selalu merasa was-was ketika sedang di luar, kapan saja ia bisa tertangkap polisi. "Enggak enak, mau main ke pantai aja was-was, takut ketangkep," kata lelaki bertato itu.
Kini Darman memulai hidup baru di Ternate sebagai pedagang. Meski pendapatan tak sebanyak dulu, ia mengaku lebih merasa tenang. "Meskipun seratus yang penting tenang,".
Hari ketiga di atas laut, saya terbangun sebelum subuh karena pengumuman sahur untuk penumpang kapal. Setelah cuci muka saya beranjak menuju dek tujuh. Angin subuh di kapal sangat kencang ditambah udara dingin sehabis hujan semalam. Saya merapatkan jaket ke tubuh.
Hanya beberapa orang yang duduk di dekat dinding kapal. Matahari belum muncul, hanya gelap lautan yang terlihat. Saya duduk di kursi panjang sambil memasukan kedua tangan ke dalam saku jaket. Tak lama seorang lelaki berkemeja coklat datang duduk di kursi seberang.
"Mau ke mana, Mbak?"
"Surabaya, Mas," jawabku.
Namanya Niko pekerja tambang nikel di Weda. Sedang dipulangkan oleh perusahaan karena waktu libur. Ia lulusan D3 jurusan IT di Blora—kampung halamannya—bercita-cita sebagai progamer tapi beberapa alasan membuatnya harus bekerja di tambang nikel. Namun semangat belajarnya masih api. "Kalau ada rezeki mau lanjut S1," kata Niko sambil senyum.
"Maaf mbak saya nggak puasa," Kata Niko sambil mengambil korek dan rokok. "Kalau di rumah ya harus puasa, biar nyontohin sebagai anak yang baik,".