TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia memiliki beragam tradisi unik yang berbeda-beda di tiap daerah. Salah satu tradisi yang masih hidup hingga sekarang adalah Reog Ponorogo.
Biasanya, Reog Ponorogo dipentaskan dalam acara-acara khusus seperti pernikahan, khitanan, festival seni, hingga acara-acara kenegaraan. Tradisi ini identik dengan topeng besar berkepala harimau yang dihiasi bulu merak.
Dalam makalah berjudul Reog dan Ludruk: Dua Pusaka Budaya dari Jawa Timur yang Masih Bertahan oleh Ayu Sutarto, dikatakan bahwa cerita asal-usul dan perkembangan reog Ponorogo memiliki lebih dari satu versi.
Versi pertama sejarah reog Ponorogo dikaitkan dengan era Kerajaan Kahuripan di Kediri. Versi ini tidak melibatkan tokoh-tokoh sejarah dan bertolak dari legenda yang diceritakan oleh pewaris aktifnya.
Kala itu, daerah Ponorogo bernama Wengker dan masuk dalam bagian dari Kerajaan Kahuripan. Raja Wengker, Klana Sewandana, dan patihnya Pujangga Anom, dikisahkan pergi ke Kerajaan Kediri dengan maksud untuk melamar putri Kahuripan yang sangat cantik.
Dalam perjalanan, Klana Sewandana dan Pujangga Anom dihadang oleh raja rimba bernama Singa Barong dan seekor merak cantik yang perkasa bernama Manyura. Klana Sewandana akhirnya berhasil mengalahkan keduanya dengan bantuan cambuk Semandiman dan bahkan membuat mereka menjadi mahluk berkepala dua, yakni kepala harimau dan burung merak.
Versi lain menyebutkan bahwa Reog Ponorogo dibawa oleh seorang ulama bernama Ki Ageng Kutu Surya Ngalam untuk mengkritik Raja Majapahit, Brawijaya V, yang dikendalikan oleh permaisurinya. Harimau melambangkan sang raja, sementara merak yang hinggap di atas kepala harimau melambangkang sang permaisuri.
Selain berfungsi untuk hiburan, reog Ponorogo juga berfungsi sebagai alat penggerak massa. Di bawah pemerintahan Bathara Katong, Reog Ponorogo pernah dimanfaatkan untuk menarik massa demi mengamankan wilayah Majapahit dan menyebarkan agama Islam.
Dalam sejarah politik Indonesia, Reog Ponorogo juga kerap dimanfaatkan untuk mengumpulkan dan menggerakkan massa, terutama dalam rapat atau kampanye politik di ruang terbuka
SITI NUR RAHMAWATI