TEMPO.CO, Yogyakarta - Tumbuhnya sektor pariwisata buatan atau non-alam di Yogyakarta dalam beberapa tahun terakhir diharapkan tidak sampai mematikan sektor lainnya, terutama pertanian. Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian Kementerian Pertanian, Dedi Nursyamsi mengatakan sektor pertanian dan sektor pariwisata saat ini ibarat sekeping uang bermata dua.
"Tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kalau pertanian sebelah kiri maka wisata sebelah kanan," kata Dedi Nursyamsi saat menghadiri forum Millennial Agropreneur, Penghela Agroeduwisata dan Ekonomi Kreatif di Yogyakarta Sabtu, 12 Juni 2021. Dalam gambaran pemerintah, sektor pariwisata dan pertanian sama-sama penting, sehingga dulu tercetus konsep agrowisata atau wisata yang berbasis pertanian.
Seperti diketahui, di Yogyakarta belakangan kian intens kegiatan pembuatan wahana wisata baru oleh berbagai kelompok masyarakat. Penduduk lokal maupun lewat investor membangun destinasi wisata yang mendatangkan pendapatan.
"Agrowisata-agrowisata yang dikelola dengan baik memiliki daya tarik, sekaligus dampak ekonomi luar biasa pula bagi masyarakat di sekitarnya," kata Dedi. "Pertanian dan pariwisata memberikan dampak positif. Jadi, jangan sampai saling mematikan, justru harus sinergi dan mendukung."
Agrowisata, Dedi melanjutkan, kini menjadi harapan baru untuk mendongkrak sektor pertanian. Di Kabupaten Sleman Yogyakarta misalkan, sejumlah agrowisata tumbuh subur di antaranya Agrowisata Turi Sleman, Agrowisata Bumi Merapi, Agrowisata Jejamuran, dan Agrowisata Kebun Awatani.
Di Kabupaten Bantul ada Agrowisata Herbal Cabeyan, Agrowisata Bukit Darmo, Agrowisata Kebun Buah Langka Sedayu, dan Taman Buah Hutan Mangunan. Dedi mengatakan, kalangan yang dibidik untuk bisa bergerak di sektor agrowisata ini yakni kalangan milenial.
Data Kementerian Pertanian menunjukkan jumlah petani di Indonesia saat ini mencapai 38 juta orang. Namun dari jumlah tersebut, sekitar 70 persen adalah petani yang sudah berusia di atas 40 sampai 45 tahun.
"Tanpa regenerasi petani, dikhawatirkan selama sepuluh tahun ke depan Indonesia kehabisan petani," katanya. Musababnya, sekitar 27 juta petani yang sudah tua tidak akan bisa bekerja karena berusia lanjut. Sedangkan sisanya, sekitar 10 juta petani sulit berinovasi.
Kementerian Pertanian menargetkan selama lima tahun ke depan mampu mencetak 2,5 juta petani milenial. "Kami sedang menggandeng perguruan tinggi dan sekolah-sekolah vokasi untuk mendidik petani milenial," ucap Dedi. Ada sepuluh unit pelaksana teknis yang bekerja sama dengan 28 perguruan tinggi, yang memiliki fakultas pertanian serta seratus sekolah vokasi tingkat SMK.
Dalam forum itu, Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan, generasi milenial diharapkan menjadi agen perubahan untuk mengubah tradisi among tani yang semula bersifat tradisional dan statis menjadi industri berbudaya maju dan modern. "Petani milenial diharapkan menjadi seorang agropreneur atau petani wirausaha," kata Sultan.
Menurut Sultan Hamengku Buwono X, dengan turunnya generasi muda ke sektor pertanian secara langsung akan membuat pertanian masa depan lebih kuat. Tandanya, tercipta efisiensi dan efektivitas di sektor agrobisnis.
Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan DI Yogyakarta, Sugeng Purwanto mengatakan, saat ini, jumlah petani milenial di Yogyakarta baru mencapai 641 petani saja. Dalam tiga tahun ke depan, ditargetkan ada 3.000 sampai 4.000 petani milenial di DI Yogyakarta yang lulus berbagai program pengembangan.
Salah satu target petani milenial adalah mampu berkreasi dan memanfaatkan teknologi informasi untuk kemajuan pertanian. "Petani milenial harus bisa memproduksi sekaligus memasarkan melalui jejaring yang ada," kata dia.
Baca juga:
Covid-19 Melonjak Usai Lebaran, Raja Yogyakarta Mau PPKM Mikro yang Lebih Mikro