TEMPO.CO, Jakarta - Para perajin beragam produk khas Baduy mengalami penurunan pendapatan sejak pandemi Covid-19. Penutupan kawasan wisata budaya Baduy itu membuat tak ada kunjungan wisatawan yang biasa membeli kerajinan.
Meski begitu, Jali, 65 tahun, salah seorang perajin mengatakan ia dan sejumlah rekannya tetap bertahan meski permintaan konsumen rendah. "Meskipun permintaan konsumen itu relatif kecil, namun tetap produksi aneka kerajinan bertahan," kata dia, Ahad, 7 Februari 2021.
Sampai 17 Februari 2021, kawasan Baduy ditutup dan tidak boleh dikunjungi wisatawan sehubungan diberlakukan Pembatasan Sosial berskala Besar atau PSBB. Hal tersebut membuat kunjungan wisatawan menurun.
Para perajin biasanya menggelar lapak dagangannya di teras rumah. Namun saat ini, banyak perajin yang berhenti berproduksi.
"Kami paling bantar sekarang mendapatkan omzet sekitar Rp400 ribu/pekan," kata Jali yang menjual beragam produk kerajinan seperti lomar atau ikat kepala, tas koja, kain tenun Baduy, batik Baduy, selendang khas Baduy hingga souvenir.
Seorang perajin kain tenun Baduy, Neng mengaku bahwa dirinya hingga kini masih melayani permintaan konsumen namun jumlahnya sangat kecil. Ia bisa mengerjakan dua sampai lima kain tenun dengan pendapatan Rp 1,2 juta perbulan.
Selama ini, dirinya juga masih bertahan menjual aneka produk kerajinan Baduy, meski kunjungan wisatawan ditutup. "Kami tetap bersikap sabar, sebab adanya pandemi COVID-19 merupakan ujian," kata Neng.
Sementara itu, Tetua masyarakat Suku Baduy yang juga Kepala Desa Kanekes Jaro Saija mengatakan tak kurang 2.000 pelaku kerajinan masyarakat Suku Baduy terancam gulung tikar akibat pandemi. Mereka yang masih bertahan memproduksi kerajinan dan pedagang di kawasan Baduy sangat menurun karena produknya tidak laku. "Kami berharap penyebaran pandemi Corona segera berakhir dan kunjungan wisatawan kembali normal," ujarnya.
Baca juga: Wisatawan Belajar Hidup Sederhana dari Suku Baduy, Tetap Cukup di Masa Pandemi