Pesawat Garuda yang saya tumpangi terlihat kosong. Hanya ada 20 persen penumpang di kelas ekonomi saat itu. Dari masing-masing tiga bangku di jalur kiri dan kanan, rata-rata hanya 1 bangku penumpang saja yang terisi. Padahal, seharusnya ada 4 bangku yang terisi karena bangku tengah, oleh petugas, memang diminta untuk tidak diisi.
Selain semua penumpang pesawat dan juga para pramugari mengenakan masker, satu hal yang berbeda saat naik pesawat saat pandemi adalah sajian makanannya. Saya menerima nasi dengan lauk ayam ketika itu. Namun minumannya, saya diberikan dua botol air putih. Seingat saya, biasanya pramugari dengan troli menawarkan minuman segar seperti jus atau minuman bersoda dingin kepada para penumpang, tapi siang itu tidak terjadi.
Ketika saya sudah sampai di Bandara Komodo, Labuan Bajo, saya kembali diminta untuk mendatangi pos kesehatan. Bila Anda sudah mengisi data di aplikasi Indonesia Health Alert Card (EHAC), Anda hanya perlu untuk melakukan scan barcode oleh petugas.
Lantaran aplikasi EHAC saya bermasalah dan tidak bisa diakses, saya diminta untuk mengisi data secara manual. Di atas kertas itu, saya diminta untuk mengisi nama, nomor penerbangan, nomor KTP, usia, nomor kursi, alamat tempat tinggal di Labuan Bajo. Mereka pun meminta saya memperlihatkan berkas rapid test saya.
Ada kejadian menyebalkan dalam mengisi data EHAC manual itu. Petugas kesehatan yang seharusnya fokus melayani saya, malah meleng menatap aktor Nicholas Saputra yang ternyata satu pesawat dengan saya. Nicholas Saputra yang juga mengalami kendala di aplikasi EHAC-nya, terpaksa mengisi arsip secara manual. Si petugas kesehatan, yang sudah siap memegang handphone dan ingin berfoto dengan sang aktor, malah mengabaikan saya yang sudah memanggilnya tiga kali.
Sayang si petugas kesehatan tidak bisa berfoto dengan pemeran Rangga dari film Ada Apa dengan Cinta itu. Nicholas Saputra yang terlihat sangat terburu-buru langsung pergi dan tidak menghiraukan petugas yang ingin berfoto itu. Setelah sang aktor pergi, barulah saya terlayani. Si petugas perempuan hanya memberikan saya kertas kecil yang mesti diletakkan pada kotak sebelum pintu keluar bandara sebagai tanda saya sudah melewati pos kesehatan setempat.
Setelah 3 hari di Labuan Bajo, waktunya kembali ke Jakarta. Saya menjalani prosedur yang sama seperti saat berangkat. Satu perbedaan kecilnya adalah pemeriksaan EHAC saat tiba di Bandara Soekarno Hatta. Karena jumlah penumpang yang tiba di Terminal 3 itu banyak, maka ada tiga lajur antrean yang hendak melakukan pemeriksaan barcode. Ketika ada aplikasi yang bermasalah, seperti milik saya, saya tidak diminta untuk menuliskan data diri secara manual di kertas, melainkan mengisi data diri melalui browser di telepon genggam masing-masing dengan dibantu petugas.
Dibanding perjalanan domestik, sepertinya perjalanan udara internasional lebih mudah dilakukan saat pandemi. Salah satu penumpang Garuda rute Jakarta - Amsterdam, Ayu Triwidyaratih, mengaku tidak mengalami kesulitan yang berarti dalam melakukan perjalanannya.
Wanita 31 tahun yang berangkat ke negeri tulip bersama suami dan dua anaknya itu, mengatakan tidak melakukan validasi kesehatan di Bandara Soekarno Hatta ketika ingin berangkat menuju Belanda. "Aku langsung check in dengan memberikan paspor ke petugas," katanya saat dihubungi pada 26 November 2020
Walau begitu, Ayu sudah menyiapkan hasil swab dia dan suaminya yang dilakukan sepekan sebelum keberangkatannya pada 3 November 2020. Ayu ingin memastikan dirinya sehat dan negatif COVID-19 setelah 1,5 bulan sebelum keberangkatannya sempat dinyatakan positif COVID-19.
Surat kesehatan Ayu pun tidak diperiksa petugas di Security Check Point 1 dan 2 seperti yang terjadi dalam penerbangan domestik. "Aku hanya disuruh isi Health Declaration di pesawat," kata Ayu.
Menurutnya di dalam formulir kesehatan itu hanya ditanyakan apakah ia pernah menderita pneumonia, atau COVID-19. Dalam formulir itu juga tertera apakah ia pernah terkena, demam, batuk atau pilek dalam waktu dekat sebelum keberangkatan. "Health declaration itu sudah aku isi, tapi tidak diperiksa tuh oleh petugas," katanya.
Perbedaan antara layanan penerbangan domestik dan internasional juga terlihat dalam hal makanan yang disajikan pramugari di pesawat. Ayu mengatakan selama 15 jam durasi penerbangan, ia mendapatkan 2 kali makan besar, dan 2 kali waktu ngemil. "Pramugarinya menyediakan jus dan coca-cola di troli makanan sebagai pilihan kami. Bahkan saya yang juga minta cokelat panas di sela waktu, juga diberikan," kata Ayu.
Menurut Ayu, penerbangan Garuda jurusan Amsterdam itu pun seolah tidak diminati. Ayu mengatakan dari 200an kursi kelas ekonomi yang tersedia, kira-kira hanya 25 buah kursi yang terisi. "Sebenarnya kami bisa saja selonjoran tuh karena masih luas sekali," kata Ayu mengingatnya.
Menurut Ayu, para petugas kesehatan atau petugas keamanan di bandara Indonesia jauh lebih rajin mengenakan alat pelindung diri dibanding para penjaga di Bandara Internasional Amsterdam Schiphol. "Petugas yang pakai masker di Schiphol hanya beberapa orang saja," katanya.
Salah satu anjuran yang mencolok saat hendak ke luar negeri adalah adanya waktu isolasi mandiri. Ayu dan keluarganya diimbau melakukan isolasi mandiri selama 10 hari. Selama waktu isolasi mandiri itu, Ayu hanya pergi ke luar rumah untuk belanja makanan di super market. Ia pun tidak disuruh mengisi formulir untuk urusan pelacakan oleh petugas kesehatan Belanda.
Menurutnya, tidak banyak orang Indonesia di Belanda yang mengikuti anjuran 10 hari PENUH untuk hanya di rumah saja. "Aku sampai dibilang 'Oh mbanya ikutin peraturan banget ya. Kalau di sini mau keluar, keluar aja'," kata Ayu.
Jadi, apakah Anda sudah yakin bepergian dengan pesawat selama pandemi ini?