TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat Papua memiliki bumbu tradisional yang unik. Paneliti Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto mengatakan bumbu masak asli Papua sesuai dengan alam di sekitar. "Lebih alami dan sederhana," kata Hari Suroto dalam keterangan tertulis kepada Tempo, Rabu 7 Oktober 2020.
Untuk bumbu masak berupa garam, suku-suku yang tinggal di pedalaman Papua dan berada jauh dari pantai mengandalkan kolam air asin sebagai sumber garam. Suku Moni di bagian barat pegunungan Papua misalkan, mengandalkan kolam air asin di Hitadipa, Homeyo, dan Wandai. Kolam tersebut memiliki konsentrasi garam yang tinggi namun beryodium rendah.
Adapun suku-suku di Lembah Baliem mengandalkan kolam air asin di Jiwika dan Hetegima. "Produksi garam di pegunungan barat Papua dilakukan oleh kaum pria, sedangkan di Lembah Baliem, pembuatan garam dikerjakan oleh perempuan," kata Hari Suroto.
Garam abu yang dibungkus dengan daun pandan di Hitadipa. Foto: Balai Arkeologi Papua
Mereka membuat garam dengan cara merendam tumbuh-tumbuhan berpori, serat-serat batang pisang, dan jenis tanaman Uricaceae atau Elatostema macrophylla ke dalam kolam air asin selama dua hari atau lebih. Setelah direndam, media penyimpan konsentrasi garam ini dikeringkan kemudian dibakar menjadi abu.
"Abu ini kemudian digosok-gosok dengan daun pisang hingga lembut, lalu dibungkus dengan daun pandan," kata Hari Suroto. Abu inilah yang dipakai sebagai garam. Selain digunakan untuk masak sehari-hari, garam abu juga dipakai saat tradisi bakar batu. Daging babi atau kini diganti dengan daging ayam, sayur-mayur, serta ubi, hanya diberi bumbu garam saja.
Proses perendaman batang pohon pisang di kolam air garam Jiwika, Lembah Baliem, Papua. Foto: Balai Arkeologi Papua
Pada masa kini, sebagian masyarakat Papua sudah tidak lagi menggunakan garam abu. Ada yang lebih praktis karena garam yang biasa kita jumpai di dapur sudah tersedia di toko-toko.