Penelitian mengenai Papua mulai marak pada awal abad 20, begitu Belanda menempatkan kantor pemerintahannya di wilayah tersebut. Menurut arkeolog Hari Suroto, para misionaris Protestan banyak menulis desertasi doktoralnya mengenai suku-suku di Pegunungan Papua, “Mereka hidup bertahun-tahun dengan suku-suku itu,” ujar Hari Suroto.
Dari merekalah, suku-suku di pedalaman Papua mengenal orang-orang kulit putih. Hasil tulisan para misionaris itu, mengisi kekurangan informasi data yang luput dari perhatian antropolog Eropa, “Hal ini berkebalikan dengan Papua Nugini, di mana misionaris tak banyak menerbitkan tulisan mereka,” imbuh Hari Suroto.
Selain menjadi jembatan kesenjangan pengetahuan bagi antropolog, para misionaris itu juga menjadi jembatan fisik, yang mempertemukan suku-suku Papua dengan bangsa lain. Hal ini penting, untuk membuka saling pengertian antara peneliti-peneliti Eropa dengan suku-suku yang terasing di pedalaman Papua.
Masih menurut Hari Suroto, pada awal hubungan jangka panjang ini, orang-orang Papua masih sulit untuk memutuskan orang asing tersebut adalah jelmaan roh manusia, “Tetapi setelah diam-diam memperhatikan para misionaris itu buang hajat dan hidup laksana manusia biasa, mereka percaya bahwa mereka hanyalah manusia biasa,” ujarnya.
Mengenai Pusat Budaya Eipomek, menurut Hari Suroto, yang menarik tentunya bila ada satu bagian khusus mengenai koteka. Pasalnya, selain suku-suku di Papua, tak ada yang mengenakan koteka.
Bahkan, ikatan yang kuat antara suku-suku di Papua dan Papua Nugini, koteka menjadi pembeda, “Koteka tidak dijumpai di Papua Nugini. Saat ini generasi tua pegunungan Papua saja yang menggunakan koteka. Untuk itu koteka perku ditampilkan secara khusus di Pusat Budaya Eipomek,” ujarnya.
Menurut Hari Suroto, ke depan Pusat Budaya Eipomek bisa dilengkapi beraneka macam koteka dari berbagai suku di Papua. Konsepnya yaitu living museum, yaitu ada atraksi budaya koteka dan di halaman sekitar ditanami labu air sebagai bahan koteka.
Peserta mempertunjukan tarian tradisional dalam Festival Budaya Lembah Baliem, di Distrik Welesi, Kabupaten Jayawijaya, Wamena, Papua, 8 Agustus 2017. Walau pun keadaan sudah modern, tapi suku Dani tetap mempertahankan adat istiadat dan tradisi mereka dengan menggunakan koteka. Tempo/Rully Kesuma
Menurut Hari Suroto, Papua adalah surga kecil yang jatuh ke bumi, masih banyak yang belum diketahui tentang alam dan budaya Papua, “Ini adalah peluang sekaligus tantangan bagi para peneliti Indonesia untuk mengungkap dan mempublikasikannya,” tuturnya.
Catatan redaksi: tulisan diolah dari email antropolog medis Wulf Schiefenhoevel dan arkeolog Hari Suroto.