Schiefenhoevel mengaku sangat terkejut dan malu. Ia hanya orang asing di tanah asing, “Apa yang mereka katakan benar, meskipun mereka memiliki, tentu saja, tradisi lisan, legenda, mitos, cerita, lagu dll., Tetapi mereka tidak memiliki bahan yang terlihat pada masa lalu,” ujar Schiefenhoevel.
Ia bahkan tak sempat memikirkan memberikan materi penilitiannya kepada warga Suku Eipo, “Saya juga cukup terkejut dengan pemahaman mereka tentang konsep "sejarah". Sebab sejarah adalah kata Arab dalam Bahasa Indonesia, itu mengungkapkan konsep yang rumit. Mereka menggunakannya dengan cara intelektual yang sesuai,” imbuhnya.
Terbetik dalam benaknya membangun sebuah museum atau pusat budaya, berupa rumah tradisional (yoek aik), berbentuk bulat dengan lantai yang tinggi. Ia pun membuat denah dan desain, dan mengajukan dana di Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Pemerintah Jerman di Berlin. Rupanya para pejabat di Kemenlu menyukai gagasan itu.
“Kami memperoleh hibah 15.000 Euro (Rp245,8 juta),” kenangnya. Syaratnya adalah pihak Indonesia harus bergabung dengan proyek tersebut. Menurutnya, yang cukup menyita waktu dalam pembangunan fisik gedung adalah mencari mitra lokal. Akhirnya, ia bertemu dengan Hieronimus Uropmabin, yang saat itu menjadi kepala Seksi Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Pegunungan Bintang di Oksibil.
“Dia menjabat tangan saya dan berkata: "Jangan khawatir, kita akan melakukannya!," ujar Schiefenhoevel. Setelah mendapat izin dari pemerintah Kabupaten Pegunungan Bintang, pengerjaannya diserahkan kepada arsitek Amir Salipu di Jayapura. Ia membuat rencana arsitektur menggunakan konsep dari Schiefenhoevel.
Bangunan Pusat Budaya Eipomek yang melibatkan dana hibah dari Pemerintah Jerman dan Pemerintah Kabupaten Pegunungan Bintang. Dok. Wulf Schiefenhoevel
Hieronimus bahkan meminta sebuah wisma tamu yang luas, juga dibangun di sisi gedung Pusat Kebudayaan. Langkah yang juga sulit, adalah menentukan lokasi pembangunan Pusat Budaya. Pasalnya, beberapa klan pasti dengan senang hati bila tanah mereka dijadikan lokasi Pusat Budaya.
Akhirnya setelah melalui perbincangan panjang dengan beberapa klan dan pemerintah daerah, dipilihlah lokasi di mana tiga rumah penting Suku Eipo yang hancur karena gempa besar pada Juni 1976, “Gempa itu menghancurkan seluruh Desa Munggona,” ujar Schiefenhoevel.
Warga akhirnya sepakat rumah besar itu dibangun di lokasi itu. Di samping merupakan desa baru, lokasinya dengan lapangan terbang. Juga diputuskan bahwa institusi tidak boleh menyandang nama 'museum', tetapi 'pusat budaya'. Alasan warga memilih nama Pusat Budaya, agar lebih internasiona, “Dan saya menyukai ide bagus tersebut,” ujar Schiefenhoevel.
Sebuah perusahaan dari Sulawesi diberi pekerjaan untuk mendirikan bangunan Pusat Budaya plus wisma dan pada 4 Juli 2014. Atau tepatnya, pada hari itu, 40 tahun setelah kedatangan ilmuwan Jerman pertama di Eipomek. Pusat Budaya Eipomek secara resmi dibuka oleh Bupati Wellington Lod Wenda.
Pusat Budaya Eipomek memiliki banyak foto dari awal dokumentasi ilmiah oleh Tim Peneliti Jerman (GRT) yang bekerja bersama LIPI sejak Juli 1974. Ada layar besar untuk memproyeksikan film-film masa lalu. Seluruh koleksi film-film ini juga disimpan di sana, serta semua buku yang ditulis oleh anggota GRT tentang sifat dan budaya Eipomek.
Selain menyimpan hasil peneitian GRT, Pusat Budaya Eipomek juga menyimpan film dokumenter dari Pierre Gaisseau, The Sky Above, the Mud Below. Film hasil penelitian tim gabungan dari Prancis, Belanda dan Papua itu berkisah mengenai kehidupan di pesisir pantai selatan hingga pantai Utara. Proses pembuatan film memakan waktu enam bulan, pada tahun 1959-1960.
Prof. Dr. Herawati Sudoyo of Eijkman Institut Jakarta dan Prof. Dr. Wulf Schiefenhoevel mengadakan studi antropologi di dalam Pusat Budaya Eipomek pada 2019. Dok. Wulf Schiefenhoevel
Mereka melintasi pegunungan hingga ke Lembah Eipomek. Mereka menjadi orang asing pertama yang pernah dilihat Suku Eipo. Selain film itu, terdapat pula film karya "Ekspedisi Stirling" bertahun, yang memvisualkan Suku Dani di utara, dan beragam film-film lainnya.