TEMPO.CO, Jakarta - Pandemi virus corona (Covid-19) drastis mengurangi aktivitas bepergian. Industri pariwisata merosot, karena sangat terkena dampak wabah tersebut. Kini situasi mulai bergerak menuju normal baru atau new normal untuk aktivitas wisata.
Tata cara pencegahan virus corona pun disediakan untuk memompa denyut kegiatan wisata. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif melansir program Cleanliness, Health and Safety atau CHS. Namun seberapa meyakinkan protokol tersebut untuk kebutuhan kepariwisataan.
Menurut Ketua Program Studi Pascasarjana Kajian Pariwisata Universitas Gadjah Mada, Hendrie Adji Kusworo, kepercayaan adalah keutamaan untuk berwisata. Ia menjelaskan, bahwa dalam konteks pariwisata, pelancong hanya akan tahu produk wisata ketika tiba di destinasi.
Baca: Protokol Kesehatan untuk Pariwisata Resmi Disahkan, Intinya 3 Hal
"Saya kira memang betul trust (kepercayaan) itu kunci yang luar biasa. Karena wisatawan itu belum melihat produk wisata yang akan dikonsumsi," katanya dalam siaran daring bertema "Wisata Era New Normal", Kamis, 18 Juni 2020.
Menurut dia, sertifikasi menjadi hal yang diperlukan untuk menjamin sebuah produk wisata. Hal itu akan menumbuhkan rasa percaya orang untuk berwisata. "Itu bisa dipercaya lebih punya kemungkinan untuk memenangkan persaingan," ujarnya.
Menurut dia, situasi pandemi membuat produk pariwisata memerlukan pihak ketiga untuk solusi membangun kepercayaan. "Pihak ketiga yang dipercaya dalam konteks sertifikasi tadi," katanya.
Hendrie menjelaskan, bahwa Indonesia Sustainable Tourism Council (ISTC) sudah mencoba masuk dalam ranah itu. Maka, kata dia, CHS yang sedang dikembangkan itu akan menjadi bagian ISTC.
"Itu menjadi semacam lembaga yang punya hak secara konstitusional karena sudah memperoleh mandat dari badan sertifikasi nasional BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi)," ujarnya. Ia menambahkan, termasuk yang berhubungan dengan CHS yang merespons soal virus corona.