TEMPO.CO, Jakarta - Di sudut terpencil Sabu-Jaddi di timur laut Sudan, para peneliti menemukan jejak-jejak perubahan iklim. Menyulap wilayah berhutan menjadi gurun pasir, yang hanya menyisakan kesuburan di sepanjang aliran Sungai Nil yang membelah Sudan.
Di sebuah wadi (dasar sungai kering) yang dilapisi batu-batu pasir yang runtuh di Sabbu-Jadi, wisatawan dapat menemukan permukaan batu yang terbuka, ada ribuan petroglyph kuno yang menggambarkan pemandangan gajah, jerapah, burung unta, dan perahu.
Artinya, Sabu-Jaddi dulunya bukanlah wilayah yang gersang. Sabu-Jaddi saat ini berada di Gurun Nubian yang kering, sisi timur Sahara terjepit di antara Sungai Nil dan Laut Merah. Matt Stirn arkeolog yang telah mengerjakan proyek-proyek dari dasar Laut Hitam hingga puncak Pegunungan Rocky, menceritakan temuannya itu kepada BBC.
Petroglyph itu menjadi jejak awal mengenai kerasnya akibat perubahan iklim terhadap bumi. Sabu-Jaddi (atau hanya "Sabu") berisi lebih dari 1.500 gambar batu yang mencakup 10.000 tahun sejarah manusia di wilayah tersebut.
Para arkeolog belum menentukan kapan, tepatnya, orang-orang Nubia kuno yang tinggal sekitar Sabu-Jaddi untuk pertama kali dan memahat gambar-gambar itu. Tetapi satu hal yang pasti: etsa kuda nil, buaya, dan perahu papirus yang sangat terawat, menggambarkan dunia yang sangat berbeda dari lanskap gurun yang kering. Gurun itu dikenal sekarang sebagai Gurun Sahara yang mencakup sebagian besar Afrika utara, dan menawarkan sekilas masa lalu Sahara yang hijau.
Baca Juga:
Gurun Sahara pada awalnya adalah hutan dan padang rumput. Perubahan iklim membuat wilayah yang hijau menjadi gurun pasir. Foto: @mohamedsaleban
"Sabu-Jaddi memiliki keragaman dalam jumlah yang besar," kata arkeolog Dr Bruce Williams, yang bekerja di Sudan selama lebih dari 50 tahun. "Ada hewan dari zaman awal, ternak dari periode Kerma (2600-1450 SM), perahu Kerajaan Baru Mesir (1570-1069 SM), koleksi motif periode Kristen dan banyak lagi yang berlanjut sepanjang waktu."
Di luar besarnya jumlah gambar dan sejarah mendalam pada situs tersebut, Sabu juga memberikan catatan terperinci tentang bagaimana orang hidup dan beradaptasi, ketika gurun terbesar di dunia mulai terbentuk di sekitar mereka.
Iklim di wilayah Sahara dulu sangat berbeda dari sekarang. Meskipun gurun umumnya dianggap berumur dua hingga tiga juta tahun, selama masa yang dikenal sebagai Periode Lembab Afrika (sekitar 13000-3000 SM), angin musiman dari Afrika Tengah menyapu ke atas, memberikan curah hujan yang cukup ke bagian utara benua. Selama era ini, Sungai Nil melonjak karena dialiri oleh anak-anak sungai yang dipenuhi hujan yang tak terhitung jumlahnya, yang berliku-liku menjadi dataran hijau yang subur - seperti sabana di Kenya dan Tanzania.
Kawanan gajah, jerapah, dan rusa dalam jumlah yang sangat besar bergemuruh melintasi bentang alam. Serta kuda nil mendengus di seluruh kolam rawa dan sungai. Berbagai macam tumbuhan dan hewan menawarkan sumber daya berlimpah bagi manusia, yang menjelajahi padang rumput ini dalam kelompok keluarga kecil pemburu-pengumpul.
Di Sabu-Jaddi, ratusan figur hewan yang tertoreh ke permukaan batu pasir adalah bukti dari era yang terlupakan itu. Bentuk awal seni cadas Sahara ini dikenal sebagai Fase Bubaline, dan sementara Sabu bukan satu-satunya situs dengan petroglyph kuno, yang menggambarkan binatang buruan eksotis di Sahara. Sabu-Jadii hanyalah situs pertama di Sudan yang didokumentasikan (oleh ekspedisi arkeologis Inggris di tahun 1940-an) dan tetap menjadi satu-satunya yang mudah diakses pengunjung hingga hari ini.
Di luar seni kuno, informasi lain tentang hubungan manusia prasejarah dengan binatang telah diidentifikasi di penggalian di dekatnya, di mana tulang yang dipotong dari babi hutan, macan tutul, biawak, ikan, kijang dan jerapah terletak di samping sisa-sisa alat batu yang terkelupas dan perapian api kuno.
Bukti kehidupan seperti itu, baik di Sabu-Jadii dan di penggalian di dekatnya, menawarkan sekilas ke masa ketika kehidupan di dataran berumput Afrika Utara berkecukupan. Tapi itu tidak berlangsung lama, dan sekitar 5500-5000 SM, iklim memulai transformasi 2.000 tahun ketika Periode Lembab Afrika perlahan-lahan berakhir.
Ketika pola cuaca lembab di Afrika Utara mulai memendek saat musim hujan semakin jarang, baik manusia maupun hewan bermigrasi lebih dekat ke tepi Sungai Nil. Ketika cuaca terus mengering, periode lembab berakhir, dan pada tahun 3500 SM, Sahara yang kita kenal sekarang terbentuk.
Matt Stirn menduga, sebagai tanggapan terhadap perubahan iklim itu, para menusia pengumpul-pemburu bergerak di wilayah Sabu-Jaddi secara bertahap. Mereka tidak berpindah-pindah dan semakin bergantung pada hewan peliharaan seperti sapi, domba dan kambing, yang merumput di dekat lubang berair.
Pergeseran budaya ke pastoralisme ini sering digunakan untuk mendefinisikan awal mula Periode Neolitikum, dan lintasan yang pada akhirnya akan berkembang menjadi pertanian dan penciptaan desa, kota, dan kerajaan permanen. Selama masa ini, pentingnya ternak meningkat secara eksponensial dan menjadi titik fokus bagi perdagangan dan ekonomi di Sudan.
Lukisan pada batu berbentuk hewan dan perahu menunjukkan Sabu-Jaddi dulunya adalah wilayah yang subur, sebelum menjadi bagian dari Gurun Sahara. Foto: @beatricetravels
Menurut arkeolog Swiss Jerome Dubosson, prevalensi figur sapi di Sabu membantu manusia memahami pentingnya hewan-hewan ternak di seluruh Sudan. Sebagai contoh, di ibu kota bersejarah terdekat dari Kerajaan Kushite kuno, Kerma, terdapat tengkorak dari ribuan sapi yang dikorbankan. Mereka dimakamkan di kuburan yang berasal dari tahun 2000 SM.
Peningkatan ternak baik dalam seni batu cadas maupun pada penggalian lainnya, menunjukkan pergeseran dalam ekonomi dan gambaran bagaimana manusia beradaptasi dengan perubahan kondisi padang pasir.