TEMPO.CO, Jakarta - Pulau Tinian merupakan salah satu dari adalah salah satu dari tiga pulau utama Persemakmuran Kepulauan Mariana Utara – negara anggota persemakmuran Amerika Serikat di Samudra Pasifik Barat. Pulau Tinian menjadi salah satu dari 15 pulau Persemakmuran Kepulauan Mariana Utara yang terletak di antara Hawaii dan Filipina.
Pantai-pantai di Pulau Tinian, terkenal bening dan udaranya sangat nyaman. Namun jauh di pedalaman pulau itu, terdapat padang rumput dengan bekas-bekas landasan pesawat. Pulau Tinian, pada Perang Dunia II. Dari pulau inilah bom atom yang dijatuhkan di Nagasaki dan Hiroshima dirakit, kemudian dibawa oleh pesawat pengebom dari pulau tropis itu.
Selain bertandang ke sisa-sisa pangkalan pasukan Amerika Serikat, Pulau Tinian memang layak jadi pulau resor untuk bersantai. Penduduknya hanya 3.000 orang, dengan beberapa restoran, hotel kecil dan satu pompa bensin. Pulau seluas 101 km persegi itu memang damai.
Pada tahun 1944, Pulau Tinian dan Saipan (dua pulau yang berdekatan), pernah menjadi arena pertempuran brutal antara Amerika Serikat dan Jepang. AS berhasrat besar menguasai pulau-pulau itu, yang jaraknya sekitar 1.500 mil dari daratan Jepang. Jarak tersebut memungkinkan pembom B-29 bisa menjangkau Jepang.
Kuil Shinto peninggalan Perang Dunia II yang berada di Pulau Tinian. Foto: @tinian.island
Sebagaimana dinukil dari CNN, pada musim panas 1944, setelah tiga bulan pertempuran, pasukan AS berhasil menguasai pulau itu, dan dengan cepat membangun pangkalan udara besar untuk pesawat pengebom.
Pada tahun 1945, pulau yang sunyi itu berubah jadi hiruk-pikuk. Puluhan ribu pasukan Amerika Serikat berada di sana. Mereka dengan cepat membangun bengkel dan tenda, untuk rumah bagi pesawat terbang dan manusia. Pulau Tinian pada masa itu pernah menjadi bandara tersibuk di dunia.
Jalan-jalan di Pulau Tinian, sebagian merupakan hasil dari kerja Batalyon Seabees Angkatan Laut AS, atau batalyon konstruksi 75 tahun yang lalu. Don Farrell, penduduk asli California yang pindah ke kepulauan Pasifik pada 1970-an, kini menjadi kepala sejarawan Tinian. Bila sedang menjadi pramuwisata, ia piawai merinci kisah yang terjadi pada 1945, yang juga ia tulis dalam buku "Tinian and the Bomb."
Ia memimpin upaya untuk membuat lubang-lubang bom itu digali dan dilestarikan lebih dari satu dekade yang lalu, dan menjelaskan bagaimana bom atom dimuat ke dalam B-29, “Pikirkan ketika Anda sedang melakukan servis mobil dan lift hidrolik mengangkatnya di atas kepala Anda sehingga mekanik dapat bekerja di bawahnya. Begitulah cara bom masuk ke perut pesawat,” kata Farrell kepada CNN Travel.
Pulau Trinian dulu kala menjadi kandang Boeing B-29 Superfortress, pesawat pengebom berat pengintai. Salah satunya, yang mengebom Hiroshima dan Nagasaki dinamai Enola Gay. Kini pesawat itu dijadikan tersimpan di monumen di pinggiran kota Washington, DC. Enola Gay adalah salah satu centerpieces dari Steven F. Udvar-Hazy Center, salah satu ruang di Museum Udara dan Luar Angkasa Smithsonian di Chantilly, Virginia.
Itu berada di tengah-tengah museum, dikelilingi oleh puluhan pesawat terbang dari segala usia, dari asal-usul penerbangan hingga pesawat ulang-alik Discovery, "Ini adalah artefak yang sangat suram," kata Jeremy Kinney, kurator di museum. Enola Gay, di satu sisi, ini merupakan yang terbaik dari upaya AS mengakhiri Perang Dunia II. Namun Enola Gay merenggut nyawa sekitar 80.000 jiwa manusia di Hiroshima dan 140.000 di Nagasaki.
Pulau Tinian mengandalkan pariwisata sebagai penggerak ekonomi. Dulunya pulau ini merupakan basis pesawat pembom pasukan AS untuk menyerang Jepang. Foto: @khaleesi.sc
Menurut Kinney, pada masanya, B-29 seperti Enola Gay adalah pengebom tercanggih dan paling kuat. Dirancang untuk menjadi pembom antarbenua, yang bisa terbang dari benua AS ke Eropa jika Inggris jatuh ke tangan Jerman Nazi.
Itu adalah salah satu dari 300.000 pesawat yang diproduksi oleh Amerika Serikat dalam Perang Dunia II, dan satu dari hanya 15 B-29 yang dibuat khusus untuk membawa bom atom.