TEMPO.CO, Jakarta - Seoul, jantung Korea Selatan, masih menjadi destinasi wisata utama di Asia, usai wabah virus corona. Negeri itu sedang merancang program, untuk memikat wisatawan bila wabah berlalu. Wisatawan selalu ingat Seoul sebagai metropolitan megah, yang menawarkan wisata sejarah. Semisal Istana Sungnyemun, Changgyeong, hingga Kampung Hanok di Gunung Ham.
Tapi wisatawan mungkin lupa, Seoul juga punya detail-detail yang terlewatkan, semisal miniatur bukit batu Dodamsambong yang berada di tengah sungai. Miniatur bukit atau gunung-gunung itu, merupakan tren memperindah taman, yang dikenal sebagai seni "jingyeong sansu". Seni yang berusaha menciptakan kembali gunung-gunung paling terkenal di negara itu - dalam skala yang jauh lebih kecil - di luar kompleks apartemen mewah dan villa pribadi.
Gunung artifiasial itu, biasanya dibangun oleh pengembang real estate yang berharap dapat meningkatkan feng shui dan harga pasar bangunan. Beberapa penduduk juga percaya, gunung artifisal membawa kekuatan penyembuhan alam di depan pintu rumah mereka.
Dinukil dari CNN, fotografer Seunggu Kim, memotret seni jingyeong sansu. Ia memotret gunung-gunung mini, mulai dari pembuatan hingga pemasangan struktur yang tidak konvensional itu sejak 2011. Pada waktu itu, ia telah mengunjungi sekitar 30 kompleks apartemen yang dilengkapi dengan taman batu megah dan bukit-bukit yang ditutupi pohon.
Menurut Kim, proses pembuatan gunung artifisial dimulai dengan membuat cetakan styrofoam dasar, yang dipasang di sekitar blok apartemen, “Kemudian pekerja menutupinya dengan tanah, sebelum menanam bunga dan pohon,” ujarnya.
Strukturnya sering disertai dengan ukiran yang menggambarkan energi positif, yang dipikirkan masyarakat mengenai setiap gunung, mulai dari kesuburan, aspirasi, hingga ketenangan pikiran.
"Saya menyadari ini bukan hanya lanskap buatan tetapi lingkungan baru yang menggabungkan tradisi dan filosofi," kata Kim kepada CNN Travel. Sebuah miniatur gunung dihargai hingga US$ 2 juta untuk desain setinggi 20 meter, “Biasanya ditemukan di kompleks apartemen mewah. Hanya bahan berkualitas tinggi yang digunakan, termasuk batu dan bonsai yang mahal, dan setiap gunung dikelola oleh tim ahli,” ujarnya.
Keluarga Korea meyakini, gunung imitasi memiliki kekuatan fengsui, sementara bagi pengembang dapat menaikkan nilai properti. Namun Seunggun Kim juga menemukan, gunung imitasi dipakai untuk hiburan dalam kehidupan urban. Foto: Seunggu Kim/CNN
Kecintaan Bangsa Korea Terhadap Gunung
Pegunungan mencakup sekitar 70 persen dari semenanjung Korea dan merupakan bagian integral dari identitas Korea. Kisah mistik tentang asal usul Korea dimulai di Pegunungan Taebaek.
Menurut legenda Korea, Hwan-ung turun dari surga dan didekati oleh beruang yang ingin menjadi wanita. Hwan-ung menyuruh beruang itu makan bawang putih dan rempah-rempah selama 100 hari di sebuah gua. Itu berhasil, dan beruang itu jadi wanita. Hwan-ung menikahi wanitu itu, dan buah perkawinan mereka lahirlah Dangun, yang mendirikan kerajaan pada tahun 2333 SM.
Sementara banyak yang menganggap legenda sebagai mitos, arkeolog Korea Utara mengklaim telah menemukan kuburan Dangun di kaki gunung Taebaek dekat ibukota Korea Utara, Pyongyang. Mereka lalu membangun sebuah makam di lokasi itu pada tahun 1994 untuk memuliakannya.
Saat ini, pegunungan di kedua sisi perbatasan antara Korea Utara dan Selatan diyakini membawa keberuntungan. Kedua negara merayakan asal usul bangsa Korea, setiap 3 Oktober setiap tahun – untuk mengenang Hwan-ung.
"Ada kepercayaan positif dan perdukunan terhadap gunung-gunung di Korea, jadi itu seperti mengompresnya dan membawanya kembali ke kota di mana ada kekurangan alam," kata Kim. "Pekerjaan saya adalah menemukan pemandangan Korea yang masih ada di masyarakat modern."
Beberapa desain yang lebih populer adalah Gunung Seorak, di pegunungan Taebaek di provinsi Gangwon, dan Halla Pulau Jeju, gunung tertinggi di negara itu. Gunung Kumgang di Korea Utara juga populer, namun turis Korea Selatan tidak dapat mengunjunginya sejak 2008, karena ketegangan politik.
Kembali ke Alam
Popularitas lanskap buatan menunjukkan bahwa penduduk berusaha memperkuat ikatan mereka dengan alam, setelah puluhan tahun mengalami urbanisasi yang cepat. Upaya untuk menghubungkan kembali inilah yang Kim coba tangkap dalam fotonya, menurut kurator Haeni Park.
"Melalui karyanya, Kim mengungkapkan pemahamannya tentang realitas masyarakat kami, di mana orang-orang yang tinggal di kota-kota yang agak suram benar-benar mendapatkan penghiburan, jika hanya sesaat, dari struktur buatan yang berwarna-warni," ujarnya.
Kim telah memotret struktur yang sama selama bertahun-tahun untuk mengamati perubahan musiman dalam bentuk dan warna mereka. Dia awalnya melihat desain lanskap "kitsch" sebagai salah satu gejala pertumbuhan ekonomi yang cepat di Korea Selatan. Namun sejak itu ia semakin menghargai keindahan pegunungan dan efek "penyembuhan" yang dimiliki gunung-gunung artifisial.
Tiruan Dodamsambong Peaks di sebuah apartemen. Foto: Seunggun Kim/CNN
"Kadang-kadang ketika saya di luar sana memotret bukit-bukit palsu, penduduk tua mendatangi saya dan menjelaskan pentingnya gunung dengan sangat bangga, seolah-olah mereka nyata dan mereka memilikinya," kenang fotografer itu. "Aku menemukan rasa memiliki yang sangat unik."
Kim mengatakan bahwa, hari ini, orang harus menemukan cara alternatif untuk menikmati alam dan bersantai. Dia menyebutnya "budaya instan," dan untuk menangkap bagaimana kaum urban Korea Selatan berurusan dengan hasrat untuk menemukan kegembiraan di masa tersulit.