TEMPO.CO, Jakarta - Biasanya, resto sushi di Tokyo selalu ramai. Seperti pesta, antrean pun mengular. Tapi setelah wabah virus corona merebak, turis sepi dan antrean orang makan sushi pun tak ada lagi.
Dinukil dari CNN Travel, saat fajar menguning, koki sekaligus pemilik resto sushi, Hideki Sugiura bergerak dengan cepat melewati lorong sempit Pasar Ikan Toyosu, Tokyo. Pasar Ikan Toyosu dalam dua bulan terakhir memang jadi sepi, gegara wabah. Keadaan jauh lebih tenang dari biasanya. Sugiura tak perlu membeli ikan dalam jumlah besar untuk untuk restoran sushi kecilnya, Sushi Marubatsu.
“Bisnis turun sekitar 50 persen,” kata Sugiura, karena dampak pandemi virus corona. Virus ini telah menyebar ke sebagian besar Asia dan sekarang mencengkeram Eropa dan AS, dengan lebih dari 300.000 kasus secara global. Jepang saat ini memiliki lebih dari 1.000 kasus yang dikonfirmasi, beberapa pasien di antaranya telah meninggal.
"Sederhananya, pelanggan berhenti datang," kata Sugiura kepada CNN. "Aku sangat sedih. Aku marah pada virus."
Hampir setiap hari selama sembilan tahun terakhir, Sugiura telah melaksanakan ritual hariannya di Pasar Toyosu - bagian grosir dari pasar ikan Tsukiji yang terkenal, yang pindah ke tempat baru pada tahun 2018.
Keramaian di Pasar Tsukiji Tokyo yang merupakan pasar ikan terbesar di Jepang. Kondisi ini difoto jauh sebelum wabah virus corona. (japan.travel)
Sugiura menciptakan menu hariannya yang kadang berubah – bergantung jenis ikan yang ditemuinya di pasar dan juga mempertimbangkan harga. Kali ini, ia memilih tuna, salmon, kakap merah, ekor kuning, dan udang.
Restoran mungilnya, yang dapat menampung sekitar selusin pengunjung, berada di Shibuya, dekat persimpangan Tokyo yang terkenal dengan persimpangan pejalan kaki empat arah. Tetapi mayoritas pelanggannya adalah warga setempat.
"Para pegawai perusahaan yang dulu datang untuk makan siang tidak datang sama sekali sekarang," katanya. "Dan ibu rumah tangga biasa datang saat makan siang, juga tidak ada yang datang sekarang."
Dia mengatakan bahwa bisnis sudah sakit sebelum virus menyebar, karena ekonomi yang melambat setelah pemerintah Jepang menaikkan pajak konsumsi pada bulan Oktober.
Jesper Koll, ekonom yang berbasis di Tokyo mengatakan, ekonomi Jepang lesu karena secara de facto semua mesin utama permintaan ditutup: konsumsi, belanja bisnis, ekspor barang, dan pariwisata yang masuk. Banyak bisnis berusaha tetap bertahan sambil berharap ekonomi tumbuh dari Olimpiade Tokyo 2020 – tapi perhelatan itu juga ditunda hingga 2021. Sementara industri ritel dan pariwisata Tokyo - tampak tidak pasti karena pandemi virus corona.
Krisis saat ini mendorong Sugiura untuk mempertimbangkan menutup restoran, "Jika bisnis saya tetap seperti ini karena virus, saya tidak bisa beroperasi sama sekali," katanya. "Tidak ada cara lain selain menutupnya."
Tuna bahan pembuat sushi di Pasar Ikan Tsukiji. (Foto: Shutterstock)
Pasar ikan Tsukiji Menderita
Dampak dari coronavirus juga merusak Pasar Ikan Tsukiji, yang merupakan titik pelesiran wisatawan mancanegara bila datang ke Tokyo. Beberapa vendor pasar memberi tahu CNN bahwa bisnis mereka turun 70-80 persen.
"(Bisnis) mengerikan, mengerikan," kata Naoto Furusawa, yang telah bekerja di salah satu kios yang menjual ikan kering dan makanan lainnya selama 23 tahun. Biasanya, katanya, jalanan penuh dengan pengunjung dari seluruh dunia. "Itu lautan manusia," kata Furusawa. "(Biasanya) aku bahkan tidak bisa berjalan."
Turis juga merasakan hal yang sama saat bertandang ke Pasar Ikan Tsukiji, "Saya datang tiga tahun lalu dan saya tidak bisa berjalan (melewati kerumunan), dan sekarang hampir tidak ada orang," kata turis Kolombia Andres Bitar (32).
Ketika pasar grosir pindah ke Toyosu, pasar bagian luar yang memiliki lusinan toko dan restoran, tetap buka di Tsukiji. Tapi, toko-toko itu bisa saj atutup bergantung pada sebarapa lama, virus corona mewabah. "Semua orang mengatakan, yang bisa mereka lakukan adalah bersabar," katanya.
Di luar jalan-jalan utama pasar Tsukiji ada beberapa lorong gelap dan sempit yang dijejali lusinan sushi kecil - juga menderita penularan ekonomi virus corona, "Ada banyak bisnis tutup," kata Toru Honma, yang memiliki salah satu restoran kecil. "Tiga atau empat restoran telah ditutup dalam satu atau dua bulan terakhir."
Biasanya pada pagi hari, Honma yang berusia 68 tahun, menyajikan mangkuk nasi sashimi, piring-piring sushi segar, dan secangkir teh Jepang yang asapnya mengepul. Semua menu itu ia sajikan kepada pengunjung yang berdatangan setelah berbelanja di pasar.
Tapi sekarang, dia hanya menghitung kerugiannya. "Aku merasa sangat sedih - itu menyakitkan," kata Honma. "Itu penurunan yang tajam."
Honma telah menjadi koki sushi selama 45 tahun, dan mengatakan dia belum pernah melihat yang seperti ini sebelumnya - bahkan setelah gempa bumi dan tsunami dahsyat yang melanda Jepang pada tahun 2011.
Saba zushi varian sushi yang dipres. Foto: Taste Atlas
Tetapi situasinya cenderung memburuk lebih lanjut, karena para ahli mengatakan dampak dari krisis virus corona masih jauh dari selesai, "Anda akan melihat setidaknya tiga atau empat bulan ke depan, data ekonomi yang akan terus memburuk, Anda akan melihat data laba yang terus memburuk," kata Jesper Koll.
Krisis telah membuat pemilik usaha kecil di Jepang - dan di seluruh dunia - menghadapi masa depan yang tidak pasti, "Kami tidak tahu kapan itu berakhir, dan semakin buruk dari hari ke hari," kata Honma.