TEMPO.CO, Jakarta - Sepasang suami isteri bertubuh kurus memanggul jeriken berisi 20 liter di kepala. Hanya mengenakan sandal jepit, keduanya menapaki jalanan terjal dan licin di Gunung Andong, Magelang, Jawa Tengah. Kabut pekat menghajar tubuh mereka, Sabtu pagi, 1 Februari 2020.
Tubuh Wahyu, perempuan pengangkut air hanya berbalut kaus lengan pendek dan celana kain tipis. Kain yang dia lipat di ujung kepala menjadi tumpuan jeriken air. Sesekali napasnya tersengal saat menuruni puncak Gunung Andong.
Suaminya, Wiryo juga melakukan pekerjaan yang sama setiap hari, memanggul air tanpa rasa takut tergelincir atau kepleset dan jatuh. Mereka mengambil air dari mata air puncak Gunung Andong.
Mereka satu-satunya pasangan pengangkut air dari Dusun Sawit, Girirejo, Ngablak, Magelang. Air-air bersih yang mereka angkut dari mata air puncak Andong digunakan untuk kebutuhan minum dan aktivitas di toilet pendaki maupun wisatawan di Gunung Andong. “Saya mengakut air setiap hari selama 7 tahun,” kata Wahyu kepada Tempo.
Gunung Andong memang tak seperti gunung-gunung yang memiliki sumber mata air di setiap pos. Mata air hanya terkonsentrasi di puncak gunung.
Wahyu menyetor air-air itu di sekitar puncak dan pos-pos pendakian Gunung Andong. Di puncak terdapat pendaki yang mendirikan tenda-tenda, memasak air, dan makanan. Setiap pos-pos pendakian menyediakan warung-warung yang bisa pendaki gunakan untuk istirahat sejenak. Mereka bisa membeli teh dan kopi hangat untuk menghangatkan tubuh.
Warung berdinding bambu juga menyediakan tempe dan tahu goreng, mie rebus, dan nasi campur. Ada tiga pos yang harus dilewati pendaki untuk menuju puncak gunung yang memiliki ketinggian 1.726 meter di atas permukaan laut itu. Sedangkan, penjaga toilet yang merupakan penduduk sekitar membanderol ongkos air untuk setiap satu botol air kemasan seharga 5 ribu untuk kebutuhan aktivitas pendaki di toilet.
Wahyu yang ramah mengatakan mendapat upah Rp 25 ribu untuk setiap jeriken air dari hasil jerih payahnya. Setiap hari, ia mampu mengangkut 10 jeriken air. Bila libur akhir pekan tiba, maka Wahyu dan Wiryo mengangkut 20 jeriken air.
Pasangan yang berasal dari Dusun Sawit ini mengaku mendaki menjadi pekerjaan yang justru membuat tubuh mereka bugar. Wahyu menuturkan tak pernah sakit berat. Sesekali dia hanya sakit ringan, seperti flu dan pegal-pegal. Dia menyebut tidak punya rahasia tertentu untuk bisa mahir mendaki. Kebiasaan mendaki membuatnya berjalan cepat menapaki jalan terjal dan licin.
Ia tak pernah takut tergelincir atau jatuh. Wahyu hafal mana jalan yang aman dan berbahaya. “Saya merasa tubuh menyatu dengan Gunung Andong,” kata Wahyu.
Selain mengangkut air, pasangan ini juga bertani menanam sayur mayur, di antaranya sayur sawi, buncis, dan kubis. Luas lahannya tak seberapa. Mereka hanya menyewa lahan sempit dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Jasa mengakut air itu, menurut Wahyu membantu menghidupi dia, suami, dan dua anaknya.
Pendamping pendaki Gunung Andong, Darno, mengatakan puncak gunung itu tak pernah sepi dari pengunjug. Mereka yang datang kebanyakan merupakan pendaki muda. Sebagian pendaki mendirikan tenda-tenda dan memasak di situ. Setiap libur akhir pekan, jumlah pengunjung bisa mencapai 2 ribu orang. “Air menjadi kebutuhan paling penting untuk pendaki maupun wisatawan,” kata Darno.
Wahyu dan Wiryo menurut Darno pasangan yang tangguh. Dia melihat pasangan itu setiap hari bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan air para pendaki. Di kawasan wisata itu, pasangan tersebut dikenal ulet.
Wiryo mengangkut air dalam jeriken untuk memenuhi kebutuhan air bagi pendaki dan wisatawan di Gunung Andong, Magelang, Jawa Tengah. TEMPO/Shinta Maharani
Untuk menjangkau puncak Gunung Andong perlu waktu dua jam hingga dua jam 30 menit dari base camp melalui jalur Dusun Sawit. Pendaki biasanya berangkat pada dini hari pukul 03.00 untuk mendapatkan pemandangan terbaik dari puncak gunung, yakni matahari terbit.
Bila cuaca cerah, maka pendaki bisa melihat keindahan pemandangan pegunungan di sekitar
Magelang seperti Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, dan Telomoyo dari puncak Andong.